SUDAH TIGA HARI semenjak pertemuan terakhir di ruang loker, selama itu pula Beau tidak dapat menemukan keberadaan sosok Fabio dimanapun lagi. Tidak di sekolah, tidak juga tampak di sekitar rumahnya. Tak ada keterangan mengenai ketidakhadiran pemuda itu ke sekolah. Pintu rumahnya juga tertutup seperti selalunya. Apakah dia pindah?
Meski sudah mencoba untuk tidak memikirkan tentang pemuda itu, usaha keras Beau selalu saja gagal. Setiap pagi ia akan mengintip lewat jendela rumahnya ke arah pekarangan rumah Fabio demi menyaksikan tanda-tanda kehidupan di sana. Namun nihil, rumah itu layaknya hunian tak berpenghuni. Apakah Beau harus merasa senang, pembawa mimpi buruk dalam hidupnya sudah pergi? Atau haruskah Beau merasa khawatir?
Persetan. Masa bodoh dengan Fabio. Beau akan melanjutkan hidupnya seperti dulu.
Matthew mulai bertanya-tanya tentang gelagat aneh Beau yang tak biasa selama beberapa hari belakangan. Demi menjaga dirinya tetap waras, tentu saja Beau tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi dengan mencoba menjadi seorang pembohong andal. Matthew adalah anak yang polos dan naif, jadi dia tidak akan mengajukan banyak tanya.
Sore itu, sebelum Beau melangkah memasuki pagar rumahnya, ia berhenti ketika ekor matanya menangkap sosok yang rasanya mustahil untuk ia tangkap kembali. Saat sepenuhnya sadar, Beau terbelalak dengan mulut menganga. Ia sampai harus menutup mulutnya menggunakan telapak tangan agar meredam teriakan yang sudah ada di ujung tenggorokan.
Itu! Itu Si Pirang!
Beau mengurungkan niatnya masuk ke dalam rumah. Perlahan ia mulai mengendap-endap di balik tanaman hias yang menjadi pembatas antara rumahnya dan si tetangga baru. Punggungnya membungkuk, kedua kakinya melangkah ringan berusaha tak menciptakan suara sekecil apapun. Apa yang Beau lihat sekarang adalah benar. Ia kembali melihat sosok berambut pirang itu sedang berjalan menuju tempat Fabio tinggal. Nah, sekarang apa anak itu masih akan menyangkal kalau dia memiliki saudara kembar? Beau mendengus tertahan mendengar pikirannya sendiri.
Namun kemudian, ia seolah ditarik kembali oleh sesuatu. Kata-kata menusuk dari Fabio. Percakapan mereka beberapa hari yang lalu. Beau sudah berkata bahwa ia tidak akan mencampuri urusan Fabio dan pria berambut pirang itu lagi. Kalaupun mereka memang saudara kembar, itu bukan berarti apa-apa bagi Beau. Ia tidak akan mendapatkan hadiah. Tidak akan ada yang memujinya.
Sebaliknya, jika sampai Fabio tahu ia berusaha mengurusi kehidupannya lagi, maka pemuda itu akan semakin murka. Jadi sebaiknya Beau menghentikan langkahnya sampai di sini dan tidak mencoba melakukan sesuatu yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
Hanya sebelum Beau hendak berbalik ke rumah, sosok yang sedari tadi diam-diam ia untit mendadak menghentikan langkahnya seketika. Beau terperanjat di tempat, tidak tahu harus apa. Sepertinya, sosok itu sudah tahu tentang keberadaannya.
Beau menarik tubuhnya ke balik semak belukar demi tak terlihat oleh sosok itu seandainya dia berbalik ke arahnya. Ia pikir, ia sudah aman. Sampai sebuah suara yang familiar menyapa telinganya.
"Manusia..."
Pemuda itu menutup kedua matanya rapat-rapat. Ia ketahuan. Jantungnya berdegup sangat kencang sampai ia khawatir sosok itu bisa mendengarnya. Berapa lama waktu yang kira-kira dibutuhkan untuk berlari ke dalam rumahnya? Dua detik? Tiga detik? Tidak, itu tidak realistis. Sepuluh detik barangkali, bahkan setelah ia berlari secepat kilat.
"Aku tahu kau ada di sana. Kenapa kau tidak keluar saja dan berbicara denganku?"
Suara itu kembali terdengar, entah bagaimana terkesan ramah. Beau membuka matanya kembali lantas menarik nafas berat. Ia harus menghadapinya.
"Maaf, aku tidak bermaksud menguntit," ungkap Beau dengan raut wajah menyesal. Ia berjalan menghampiri sosok yang berdiri tepat di depan pagar rumah Fabio itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Feathers [FORCEBOOK]
Mystery / ThrillerBeau tidak mengerti bagaimana pertemuannya dengan Fabio si anak baru di sekolah malah membuatnya berakhir berurusan dengan sesosok makhluk bersayap hitam yang kejam, haus darah, dan senang membuat kekacauan di muka bumi, Jealachi.