🌹
.
.
.
.Hal pertama yang Halda rasakan adalah bau dedaunan yang dihaluskan--seperti obat-obatan tradisional, tidak terlalu pekat karena bercampur dengan bau asap bakaran yang entah berasal dari apa. Aroma ini belum pernah ia hirup sebelumnya.
Ia mulai sadar, tubuhnya tengah terbaring di atas sesuatu yang empuk. Seperti kasur.
Apakah di neraka juga disediakan kasur?
Halda mencoba untuk mengangkat kedua kelopak mata, rasanya berat. Belum lagi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut kencang hingga tak kuasa membuatnya meringis kesakitan.
"Tabib ... lihat! Tuan Puteri sudah sadar!"
Halda belum mampu membuka matanya, tetapi ia dapat merasakan beberapa orang tengah berlari terburu-buru mendatangi dirinya. Seseorang menekan-nekan telapak tangannya kemudian, seperti memeriksa sesuatu.
"Tuan Puteri, apakah kau bisa mendengar kami? Bukalah matamu, Tuan Puteri."
Tuan Puteri? Siapa yang mereka maksud?
Dengan susah payah, akhirnya kedua kelopak mata Halda terangkat. Pandangannya sedikit mengabur, sebelum akhirnya jelas memampangkan seorang wanita paruh baya dan seorang pria tua berjenggot putih tengah menatap dengan binar bahagia.
"Syukurlah, Tuan Puteri sudah sadar."
"Si--siapa kalian?"
"Apakah Anda ... tidak mengenalku Tuan Puteri? Aku pelayan setiamu, Anda biasa memanggilku--Bi Yum."
Halda memegangi kepalanya yang masih berdenyut-denyut. "Apa yang kau katakan?"
"Tabib, apa yang terjadi dengan Aphridisha?" Seorang lelaki berpakaian serba hitam baru saja memasuki ruangan.
"Dia seperti ... bukan Aphridisha." Lanjutnya dengan raut wajah datar. Tidak ada rasa simpati tercetak di sana, hanya sekedar basa-basi dan seperti ingin tahu saja.
"Sebentar pangeran, saya akan coba periksa kembali."
Halda memandangi pergerakan tabib yang hendak menyentuhnya.
"Berhenti di situ! Jangan ada yang berani bertindak kurang ajar kepadaku apalagi sampai menyentuhku sembarangan!"
Tabib bersujud. "Maafkan hamba Tuan Puteri, hamba hanya ingin memeriksa keadaan Tuan Puteri. Tidak ada niat buruk lain yang hamba pikirkan apalagi sampai ingin melecehkan Tuan Puteri."
"Tuan Puteri? siapa lagi yang kau maksud? Aku Halda, namaku Halda!"
Halda memandangi sekitar, ia baru sadar bahwa ini bukanlah kamarnya. Bukan hanya kamar, tetapi baju yang ia kenakan telah berganti menjadi gaun sutra mewah.
"Bajuku ... kalian berani mengganti bajuku? Kurang ajar!
dan--di mana ini? Kalian menculikku!"
"Tuan Puteri ... tenanglah dulu."
"Persetan dengan kalian semua! Katakan, katakan di mana aku sekarang!"
"Anda baru saja sadar dari masa kritis Anda, jangan terlalu banyak bergerak jika tidak luka Anda akan kembali terbuka."
Refleks Halda memegangi perban yang membalut perutnya. Mendadak wajahnya menjadi pucat pasi. Ia sangat ingat, bahwa dirinya tidak menggunakan benda tajam apapun di saat-saat terakhir masa hidupnya. Harusnya ia sudah mati, tetapi kenapa sekarang masih diperban?
"Sudah ingat sesuatu?" Halda terkejut.
Sosok yang disapa pangeran tadi ternyata sudah berdiri tepat di hadapan wajahnya. Sedang Bi Yum dan Tabib sudah tidak terlihat lagi di dalam ruangan ini.
"Tabib mengatakan ingatanmu terganggu. Karena itu, kau butuh beberapa waktu untuk melatih otakmu mengingat segalanya," ujar lelaki itu tanpa ekspresi apa pun. Datar dan sangat dingin. Tak lama rahang tegas itu mengetat dan ekspresi lelaki itu terlihat semakin tajam dan menusuk.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu Aphridisha, berhenti mengacaukan pernikahan Sellyara! Jika kau masih terus bermain-main dengan api, aku tidak akan menahan Raja untuk memenggal kepalamu!"
Halda menelan ludah--ngeri.
"Omong kosong apa yang kau katakan? Raja ... istana ... dan juga tuan puteri. Jika ini hanya sandiwara kalian semua, tolong hentikan. Aku tidak ingin ikut campur."
Lelaki itu berdecih, membuang wajah, lantas menarik lengan Halda kuat hingga tubuh mereka bertabrakan.
"Kau benar-benar tidak ingat apapun? Atau kau sengaja tidak mau mengingat semua perbuatan busuk yang sudah kau lakukan? Justru kau selama ini yang sudah banyak ikut campur terhadap urusan orang lain."
ujarnya dengan mata yang begitu tajam. Sejenak Halda terhanyut akan manik biru laut si pangeran yang ia belum tahu siapa namanya."Berani sekali kau menyentuhku! Lepaskan! Aku bisa menghajarmu!"
"Kecilkan suaramu, saat ini kau masih menjadi tamu di istanaku, aku bisa saja mengusirmu jika kau--ARGH SIAL!"
Halda menyeringai melihat pangeran tersebut merintih mengelusi dagunya yang baru saja mendapat bogem mentah.
"Aku sudah bilang, aku bisa menghajarmu!
Sekarang katakan, tempat apa ini? Kenapa banyak barang yang terlihat seperti barang-barang kuno? Kalian menculikku ke museum peninggalan sejarah?"
"Berhenti menghina istanaku, Aphridisha!"
"Oh, istanamu? Wah, kau keturunan dari kerajaan mana?" tanggap Halda yang lebih terdengar seperti ejekan.
Wajah pangeran merah padam. "Aku tau tabiatmu memang menghina."
Pangeran itu menarik napas dalam-dalam, sebelum menghembuskannya kasar. "tapi kali ini, aku sedang tidak ingin berdebat.
Sampai luka-lukamu pulih, ya, aku akan memberikan waktu sampai luka-lukamu pulih, setelah itu ... kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang sudah kau lakukan.
Termasuk penghinaan yang sudah kau berikan kepada kerajaanku."
🌹
Halda tidak habis pikir. Tadi malam ia yakin sudah meminum racun dengan dosis yang sudah ia prediksi dapat menghilangkan nyawa manusia. Ya, gadis berusia 20 tahun itu memang berniat menghabisi nyawanya sendiri dengan cara meminum racun. Bukan dengan cara-cara mengerikan seperti menggantung diri atau menusukkan benda-benda tajam. Meski minum racun juga bukanlah hal yang wajar dan patut dicontoh, tapi Halda rasa, itu adalah hal yang paling mendingan.
Namun, di pagi harinya, ia malah terbangun dengan perut yang diperban serta disapa wajah-wajah asing yang memusingkan.
"Tuan Puteri, Anda harus istirahat. Mengapa Tuan Puteri berjalan ke sana ke mari seperti itu? Apakah ada yang Tuan Puteri butuhkan?" Bi Yum masuk ke ruangan dengan membawa nampan berisi makanan.
Halda berpikir sesuatu. Sepertinya wanita paruh baya yang terlihat patuh ini bisa membantunya.
"Bukankah namamu tadi Bi Yum?"
Bi Yum tersenyum penuh hormat. "Benar, Tuan Puteri."
"Apakah kau mau membantuku?" tanya Halda sekali lagi.
"Bahkan hamba siap untuk menyerahkan nyawa ini untuk Tuan Puteri."
Halda tersenyum bangga, sejenak ia menikmati peran ini. Banyak orang yang bisa dengan begitu mudahnya patuh akan perintah yang bisa saja semena-mena ia berikan. Seenak inikah menjadi tuan puteri?
Halda duduk di tepi kasur. "Baiklah, sekarang tolong beritahu padaku ... siapa aku sebenarnya?"
"Anda adalah Tuan Puteri."
Halda mengibaskan tangan. "Bukan yang itu, beritahu aku hal lain. Seperti namaku, asal-usulku, apakah aku memiliki keluarga di sini, dan ... bagaimana aku bisa mendapatkan luka ini?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
True Princess
FantasyHalda terbangun di tubuh seorang putri kerajaan (Aphridisha) setelah meminum racun karena hendak bunuh diri. Tidak hanya terlempar ke dimensi yang berbeda, kabar buruk yang menyerangnya saat ini, ia tengah menumpang pada tubuh dari seseorang yang ha...