"Dua bulan lagi, apa yang bisa kuperbuat dengan waktu dua bulan?"Halda kini duduk di tepi danau istana. Malam ini cahaya bulan begitu terang, Halda sampai bisa melihat ikan-ikan kecil yang berenang di dalam sana.
"Kenapa pula aku harus terjebak di tubuh ini?"
Tiba-tiba gadis itu teringat sesuatu. Ia mematut dirinya dari pantulan air danau yang terkena sinar bulan.
"Tidak-tidak, ini juga tubuhku. Ragaku dan raga Aphridisha sama, wajah kami juga tidak berbeda, apa jangan-jangan ... sebenarnya, kami adalah dua orang yang sama tetapi hidup dalam dimensi yang berbeda?"
Sial, pikirannya melantur! Halda melemparkan sembarang benda ke dalam danau. "Omong kosong apa yang kupikirkan? Sepertinya aku sudah gila!"
Halda mulai merasakan kedua matanya memanas. Ia yakin tak lama lagi bulir-bulir hangat akan lolos dari sana.
"Bagaimana caranya aku kembali ke duniaku? Apakah aku yang berada di duniaku sudah benar-benar mati karena racun yang kuminum? Atau malah jiwa Aphridisha saat ini tengah terlempar dan menempati ragaku di sana? Lelucon apa ini Tuhan ...."
Beberapa dayang hendak mendekat saat mendengar isak tangis Halda, tetapi gadis itu mengangkat tangannya--mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.
Halda menatap ke langit malam, "kau sedang menghukumku, bukan? Kau marah karena aku berusaha pulang dan menyalahi takdirku sendiri dengan meminum racun. Karena itu aku terperangkap di sini sebagai sosok pembunuh. Apa kau ingin memberikan pelajaran padaku hingga aku merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang hendak merenggut nyawa yang bukan miliknya? Begitukah Tuhan?"
Air mata Halda jatuh membasahi pipi. Ia teringat semasa ia hidup di dunianya. Tidak ada kebahagian dan kepuasan yang gadis itu dapatkan atas pencapaian apapun yang ia usahakan. Tidak ada cinta orang tua, tidak pula ada kehangatan dalam rumah tangga, pun tidak ada kesetiaan dalam jalinan pertemanan. Halda benar-benar sendiri dan tidak terakui. Karena itu ia berpikir, tidak ada bedanya jika ia harus hidup ataupun mati. Tidak akan ada yang merasa kehilangan.
"Lalu apa yang harus kulakukan dengan status Aphridisha di dunia ini? Menunggu kematianku yang kedua kalinya?"
Tiba-tiba bunyi palu pengadilan, gambaran akan tali gantung diri dan pedang tajam yang siap menebas berpuluh-puluh kepala---mengambang begitu saja menghias indah di kepala Halda.
"Tidak! Aku tidak mau dipenggal!"
Buru-buru Halda menghapus jejak air matanya. Perkataan Sean benar-benar mempengaruhi tekanan darah dan jantung Halda.
"Pasti ada cara lain untuk menyelesaikan masalah Aphridisha. Ya, sekarang masalahnya adalah masalahku juga! Dibandingkan menjadi pesimis, bukankah lebih baik aku mengoptimasikan diri?
Seorang pendosa hanya diberikan dua pilihan. Hukuman atas perbuatannya atau waktu--untuk bertobat.
Aku memiliki waktu dua bulan. Akan kugunakan waktu itu untuk memperbaiki keadaan."
Halda menyentuh dada yang kini secara keseluruhan adalah milik Aphridisha. "Dengar Aphridisha, aku tidak tahu kenapa kau begitu bodoh dan ceroboh dalam mengambil tindakan, kau begitu lemah mengendalikan emosionalmu. Seburuk apapun dirimu, saat ini hidupku sedang bergantung pada ragamu. Memang benar aku ingin mati, tapi aku tidak ingin mati dengan cara yang mengenaskan seperti digantung, ditusuk, ditebas atau apapun itu.
Karena itu aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengubah keadaan menjadi lebih menguntungkan. Karena itu, di manapun jiwamu berada, suatu saat nanti jika aku berhasil, kau harus berterima kasih kepadaku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
True Princess
FantasyHalda terbangun di tubuh seorang putri kerajaan (Aphridisha) setelah meminum racun karena hendak bunuh diri. Tidak hanya terlempar ke dimensi yang berbeda, kabar buruk yang menyerangnya saat ini, ia tengah menumpang pada tubuh dari seseorang yang ha...