bab 1

199 24 1
                                    

Rindu yang paling menyakitkan adalah merindu pada seseorang yang sudah menyatu dengan tanah.

Kalimat itu, Tyas pernah mendengarnya suatu waktu. Pada situasi tersebut, Tyas menganggap orang-orang terlalu berlebihan dalam meluapkan kesedihan mereka ketika ditinggalkan oleh seseorang yang amat berharga sebab Tyas merasa dia tak punya seseorang yang berharga atau berarti dalam hidupnya.

Ruang hidupnya kosong. Tak berpenghuni.
Sampai pada waktu dimana Tuhan menghadirkan orang-orang yang membuat ruang hatinya menjadi sesak, berpenghuni. Mendorong euforia dari dalam diri yang tak pernah Tyas rasakan sebelumnya.

Saat mereka datang, Tyas merasa utuh.
Seperti inikah bahagianya memiliki orang-orang yang berarti dalam hidup? Itu pertanyaan yang selalu terlintas dalam pikiran Tyas.

Dalam waktu bersamaan, kehadiran mereka memunculkan perasaan egois dalam diri Tyas. Sungguh sekali saja Tyas ingin menyangkal takdir semesta bahwa yang hidup pasti mati, yang datang pasti akan pergi.

“Nggak baik ngelamun sore-sore begini.”

Tyas tersentak, kaget. Memberengut sebal, menatap Joni yang berdiri di belakangnya.

“Nggak baik juga bikin kaget orang sore-sore begini.”

Joni terkekeh, mengambil sikap duduk di samping Tyas. “Pintar banget ngebales omongan orang tua,” ujarnya sembari menyodorkan segelas kopi hangat pada Tyas.

“Akhirnya ngaku juga kalau udah bangkotan.”
Lenggang beberapa menit.

Gumpalan awan tampak semakin pekat. Angin berembus, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di taman belakang. Hujan akan segera datang, tetapi Joni dan Tyas tak beranjak sekali pun seakan tak peduli kalau hujan akan mengguyur habis sekujur badan mereka.

“Kenapa? Kamu ada masalah?”

Suara berat milik Joni memecah kelenggangan.

“Setiap orang pasti punya masalah.”

Hening menyekap atmosfer di antara Joni dan Tyas.

Dibalik wajah keras dan datar itu tersimpan banyak kesedihan. Tyas adalah sosok perempuan yang tidak ingin terlihat lemah di mata siapa pun bahkan dirinya sendiri. Joni sangat mengetahuinya.

“Jangan terlalu keras sama diri kamu. Jangan menahan semuanya sendiri. Mulai sekarang kamu punya saya, jadi saya ingin kamu mengandalkan saya.”

Detik berikutnya Tyas menatap Joni, pupilnya membulat sempurna. Ekspresi wajahnya tampak tidak percaya.

Joni menarik tubuh kurus Tyas ke dalam pelukannya. Sementara Tyas tidak mengatakan apa-apa selain meneteskan air mata.

Hujan turun.

“Hujan, Yas. Ayo kita masuk.”

Joni hendak beranjak tetapi di saat bersamaan, Tyas menahan badannya.

“Aku nggak mau Raihan dan Haikal ngelihat aku nangis, Om. Sebentar aja.”

Hangat, itu yang Tyas rasakan meski sekujur tubuhnya mulai diguyur air hujan. Jemari Tyas mencengkeram kuat kaos yang Joni kenakan hingga kukunya memutih, bentuk pelampiasan emosi didalam dirinya yang tak pernah diungkapkan.

“Kapan pun kamu butuh tempat buat cerita, saya akan selalu ada buat kamu.”

Kalimat tersebut terus terngiang dalam ingatan Tyas hingga bertahun-tahun kemudian. Kalimat sederhana yang membuat Tyas tidak pernah merasa sendirian.

Namun kenyataan yang Tyas hadapi menampar dirinya. Sekarang sosoknya telah pergi ke tempat yang tak bisa dia jangkau lagi. Sosok tegap yang tubuhnya tak dapat dia peluk lagi. Sosok tegas yang suaranya tak dapat dia dengar lagi.

Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang