bab 3

105 23 3
                                    

Taman kampus ramai. Suara cakap-cakap terdengar dari berbagai sudut. Suara tawa sahut menyahut. Di antara sudut-sudut taman yang riuh obrolan, ada satu bangku yang tampak senyap dimana dia duduk seorang diri dengan laptop menyala.

Tyas, perempuan itu fokus pada laptop. Jemarinya bergerak kilat di atas keyboard. Kebisingan di sekitarnya tak mengusiknya sama sekali. Saat sedang serius mengerjakan jurnal, atensi Tyas teralih ketika ponselnya berbunyi diikuti sebuah pesan sebagai pengingat akan suatu momen penting.

BESOK ULANG TAHUN RAJENDRA🖤

Sebuah kalimat yang muncul di layar ponsel membuat hatinya mencelos.

Tiga tahun sudah berlalu meski penuh duka. Entah mengapa Tyas selalu lupa untuk mematikan pengingat itu di ponselnya. Dulu Tyas akan selalu bersemangat menjelang hari ulang tahun Rajendra bahkan satu minggu sebelumnya, Tyas sudah merangkai sedemikian rencana membuat kejutan untuk Rajendra, memikirkan kado terbaik untuk Rajendra, dan lain-lain. Namun sekarang semua telah berubah. Hari itu tak lagi spesial sebab seseorang yang membuat hari tersebut spesial telah pergi.

“Besok ulang tahun lo, Rajendra. Gue merasa iri karena lo nggak akan pernah menua. Gue yang akan menua sendirian.”

Di tengah keramaian, Tyas merenung. Air matanya jatuh. Dadanya dihantam sesak. Rasa sakit itu datang lagi memenuhi ruang di hatinya.

“Butuh sapu tangan?”

Tyas mendongak sesaat setelah mendengar suara berat seseorang. Wajah tegas yang sempurna dan mata setajam elang. Laki-laki ini terlihat asing di mata Tyas.

“Siapa lo?”

“Baskara.”

Hening kemudian.

“Kita kenal?” tanya Tyas tidak santai.

“Emangnya peraturan menolong orang itu harus saling kenal dulu?” Baskara bertanya balik.

Tyas bergeming. Sementara Baskara sekonyong-konyong duduk di hadapan Tyas, menyodorkan tangannya pada Tyas.

“Ya udah, kita ulangi aja perkenalannya. Baskara Adhitama Jervais. Itu nama gue. Gue biasa dipanggil Baskara, suka bola basket, nggak terlalu suka makanan pedas, hobi sepedaan, dan jomblo. Nama lo?”

“Apa?”

“Nama lo siapa?”

“Apa pentingnya gue kasih tahu nama gue.”

Merasa Baskara, laki-laki asing yang sok asyik ini sangat mengganggu, Tyas membereskan barangnya dan bergegas pergi. Tetapi Baskara bergerak lebih cepat meraih lengan Tyas.

“Apaan sih? Jangan kurang ajar, ya.” Tyas menyentak tangan Baskara. “Gue bisa teriak sekarang biar lo di gebukin mahasiswa di sini.”

Baskara refleks mengangkat tangan dan agak menjauh dari Tyas. “Maaf kalau gue bikin lo nggak nyaman. Ya, sebenarnya gue cuma iseng aja lewat sini terus nggak sengaja lihat lo nangis.”

Tyas tidak menggubris.

“Pakai.” Baskara menarik tangan Tyas dan memberikan sapu tangannya. “Gue nggak bisa lihat cewek nangis. Gue duluan.”

Baskara berlalu.

Tyas menghela napas, kembali duduk. Sapu tangan pemberian laki-laki yang mengaku bernama Baskara itu pada akhirnya Tyas gunakan untuk menyeka air matanya.
Semenjak Rajendra pergi. Tyas tidak pernah mencoba membuka hatinya. Ya, dia sengaja menutup pintu hatinya rapat-rapat agar tak ada seorang pun yang bisa masuk. Waktu mungkin terus berjalan, tetapi Tyas tetap merasa separuh jiwanya hilang. Dia tidak bisa begitu mudahnya menghapus kenangannya bersama Rajendra. Semuanya terlalu membekas, indah pada awalnya namun sakit pada akhirnya.

Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang