Tumpukan buku tebal berserakan di atas meja belajar. Jemari lentiknya membolak-balik tiap halaman. Mencari jawaban dari satu buku ke buku lain. Dahinya berkerut tajam, dia sedang berpikir keras. Suara gemeresik hujan diluar seolah menjadi pendukung suasana belajarnya agar lebih fokus.
Tiga jam berlalu. Tyas masih tak beranjak dari meja belajar. Dia seperti tidak kenal lelah meski sudah diingatkan oleh Mahendra berkali-kali. Ya, dia tetaplah perempuan keras kepala walau umurnya terus bertambah.
“Yas.” Suara Mahendra terdengar, pintu berderit terbuka. Mahendra kembali untuk keempat kalinya demi mengingatkan adik perempuannya.
Tyas nyengir lebar, tanpa dosa. “Bentar lagi, Bang. Nanggung banget nih.”
“Dua jam yang lalu kamu juga bilang gitu. Istirahat sebentar nggak akan bikin kamu mendadak bodoh. Makan malam dulu sana, lauknya keburu dingin nanti.”
Kalah. Mahendra tidak bisa didebat jika sudah mode galak begini.
“Raihan, udah makan, Bang?” tanya Tyas, beranjak dari kursi.
“Belum. Dari tadi siang nggak mau makan,” jawab Mahendra, dia tampak lelah. “Coba kamu bujuk. Bujukan Abang nggak mempan sama dia. Abang dicuekin tadi.”
Tyas tertawa kecil, meledek.
“Abang ke kamar dulu.” Mahendra pamit.
Mahendra berlalu. Tyas tampak memikirkan sesuatu, dia beralih membuka laci meja didekat tempat tidur. Di laci itulah terdapat sebuah foto lawas yang menyimpan banyak kenangan, memori indah sewaktu mereka masih bersama. Dipandanginya foto tersebut cukup lama. Tyas menarik senyum, menyimpan foto itu ke dalam saku celana, kemudian bergegas pergi ke lantai satu.
“Masih ramai juga ternyata. Tumben belum pada tidur?”
Ruang tamu ramai. Jenan, Ajun, dan Icung ada di sana. Tyas terkekeh saat melihat Jenan mendadak menjadi guru privat Ajun dan Icung.
“Tugasnya masih banyak, Kak.” Icung menjawab sambil memberengut. Ajun ikut mengiyakan.
Ajun berhenti menulis, menatap Tyas yang sedang mengambil makanan di meja makan. “Buat Bang Raihan ya, Kak?”
“Iya, katanya belum makan dari tadi siang.”
Icung menghela napas, meletakkan kepalanya yang pusing di atas meja. Wajahnya sedih. “Kapan sih Bang Raihan sembuh?”
“Doain aja, ya.” Jenan menjawab. “Makanya kamu juga sering-sering ngajak Bang Raihan main.”
“Udah, Bang. Tapi aku dicuekin. Bang Raihan cuma diam doang. Aku jadi takut.”
Ajun menyikut lengan Icung. Dia agak kesal. “Ngapain takut? Bang Raihan bukan setan juga.”
Dua bocah itu beradu mulut. Jenan makin pusing.
Tyas memilih tidak ikut campur. Dia undur diri ke lantai dua, meninggalkan Jenan yang kelimpungan menghadapi Ajun dan Icung.
Tiba di depan pintu kamar Raihan, Tyas mendadak gugup. Entah mengapa tiap kali memasuki ruangan itu membuat hatinya perih dan sesak. Ada gejolak kesedihan yang membuncah di dalam dada tiap kali dia menginjakkan kaki di ruangan itu. Menarik napas tiga kali, Tyas mengetuk pintu lantas membukanya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Memories
FanfictionSemua tak berakhir pada malam itu. Ada banyak teka-teki yang terlambat Tyas sadari mengenai kejadian berdarah malam itu.