🌿07

72.6K 5.1K 117
                                    

Dengan kondisi tubuh yang jauh lebih baik, Zairo turun lengkap dengan kaca mata bening yang membingkai wajahnya. Pandangannya mengedar dan pemandangan sama akan terus menyambutnya. Yakni kesibukan para pekerja.

Selama dirinya sakit, asistennya-lah yang mengkoordinir segalanya. Zairo tinggal istirahat selama beberap hari sebelum dua minggu ke depan kembali ke Australia. Kota tempat kelahirannya.

Maniknya turun menatap jam hitam mahal yang melingkar apik di tangannya. Sudah siang dan waktunya makan. Namun sosok Kaleza tidak ada dipandangan.

"Ke mana gadis itu?" tanyanya begitu dirinya tiba di meja makan dengan segala yang sudah tersaji.

"Nona Delaza izin keluar sejak pagi, Tuan. Mungkin sore nona bakalan pulang." ungkapnya dengan kepala menunduk.

Zairo mengangkat satu alisnya, apa sedang pulang ke rumah orang tuanya?

Mengabaikan pertanyaan yang bercokol di hatinya, Zairo memilih menikmati makanan di depannya. Bayangan sepintas menu ikan asin tempo hari masih membayanginya. Zairo menggeleng pelan, beruntung gadis bawel itu tidak ada di sini sekarang. Setidaknya Zairo bisa menikmati waktunya dengan bebas.

Tapi ternyata tidak. Yang Zairo lakukan hanyalah berkeliling sekitar rumah hingga dirinya bosan. Dirinya mendadak jengkel padahal tidak ada hal yang mengganggunya. Bertambah jengkel saat dirinya mendapat kabar bahwa Kaleza tidak pulang hari ini. Katanya perempuan itu memiliki kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.

"Apa dia pikir ini rumah pribadinya? Seenaknya pergi dan pulang tanpa beban," sungutnya berkacak pinggang. Tangannya merogoh ponsel lalu menghubungi bawahannya. Zairo juga tau gadis itu tidak pulang ke rumahnya. Baik dari pihak ibu ataupun ayahnya.

"Kirimkan lokasi di mana perempuan itu berada." Zairo mematikan panggilannya sepihak. Beruntung Zairo selalu menyediakan mata-mata. Tujuannya agar bisa memantau pergerakannya, Zairo hanya berjaga-jaga untuk sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi dia punya alasan untuk membatalkan pertunangan ini.

Begitulah pikirannya beberapa saat lalu sebelum Zairo mendatangi lokasi tempat Kaleza berada. Sekali lagi dia memastikan bahwa apa yang dikirim Bawahannya sudah tepat. Namun tidak ada yang salah.

Memutuskan keluar dari mobilnya, Zairo mengedarkan pandangan ke sekitar. Netranya membaca plang nama yang berada di depan jalan.

Panti Sayang Ibu.

Untuk apa gadis itu ke panti?

Zairo masih memperhatikan sebelum maniknya menagkap sosok wanita paruh baya yang sepertinya hendak keluar. Kehadirannya tentu menjadi pertanyaan dibenak Sintia begitu melihat eksistensi Zairo di depan panti.

"Cari siapa, Nak?" tanyanya mendapati Zairo yang celingukan seperti mencari seseorang.

"Delaza."

Delaza?

Alis Sintia menyerngit, dia tidak tau siapa pemilik nama Delaza itu. Mulutnya baru saja terbuka hendak menjawab, namun suara perempuan dari belakang menghentikan niat.Sintia.

"My Zai?"

Zairo menoleh dia hanya diam ditempat saat Kaleza berjalan menghampirinya. Tentu saja Kaleza bingung akan kehadiran mendadak Zairo, dari mana pria itu tau bahwa dirinya berada di sini.

Di lain sisi Zairo mengamati penampilan Kaleza yang jauh dari biasanya. Kaos oblong yang dipadukan celana jeans selutut, rambutnya yang biasa ditata rapi kini hanya dicepol asal meninggalkan anak rambut di beberapa sisi. Yang menjadi fokus utamanya adalah wajah cemongnya yang penuh warna.

Sadar dirinya sedang diperhatikan, Kaleza berdehem dengan pandangan mengedar ke sembarang arah.

"Pacarmu, Nak?" pertanyaan Sintia yang merujuk kepada Kaleza menyadarkan gadis itu bahwa masih ada sosok bunda di antara mereka. Kaleza mengaruk tengkuknya, sekarang posisinya akan sulit.

KaleZaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang