Selama seminggu ke depan, Katsubaki mengambil izin untuk berlatih lomba lari yang lombanya akan diadakan minggu depan.
Katsubaki yang seharusnya berada di ruang klub, kini ia berada di sisi lapangan terbuka. Nampak, Katsubaki terengah-engah karena ia baru saja berlari mengitari lapangan sebanyak tiga kali tanpa henti.
Setelah jeda beberapa menit, Katsubaki tanpa mengenal rasa lelah, langsung kembali berlari mengelilingi lapangan seperti hidupnya bergantung pada hal itu.
Aku yang menyaksikannya dari jendela ruang bimbingan, terus menyengap diri—mencoba memikirkan sesuatu.
Dari belakang, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku yang kemungkinan itu adalah Sakuraba.
Sakuraba berdiri di sebelahku, lalu ia pun ikut menatap ke arah Katsubaki. "Ia benar-benar berjuang keras sekali, tak seperti di saat sedang belajar."
"Jika saja semangatnya yang membara itu juga diarahkan ke dalam belajar. Maka aku tak perlu berusaha sekeras ini." Balasku.
Sakuraba melirik ke arahku, lalu bertanya. "Apa kali ini ada masalah lain yang menimpanya sekarang?"
Seketika, aku kembali teringat akan percakapan kemarin dengan Katsubaki. Yang di mana, ia meminta untuk tes minggu depan diundur, karena ingin fokus berlatih lari terlebih dahulu untuk lomba lari kamis depan.
Tentu saja kutolak mentah-mentah, karena setelah kutanyai lebih lanjut. Ternyata Katsubaki hanyalah pemain cadangan, dan aku merasa ia tidak perlu berusaha terlalu keras hanya untuk hal seperti itu.
Jawaban penolakan dariku, membuat Katsubaki termenung, lalu berjalan pergi meninggalkanku setelah menunjukan senyum yang terasa dibuat-buat.
Mengingat kilas balik itu aku menggaruk kepala, bingung dengan keadaan yang harus kuhadapi sekarang.
"Menurutmu, apa aku harus memaksakan kehendakku sendiri sebagai seorang pembimbing pada kalian bertiga?" tanyaku.
"Jika menurutmu itu yang terbaik, kenapa tidak?" jawab Sakuraba, tanpa ragu.
Kukira dia bakal marah-marah sambil menatap tajam dingin ke arahku, tapi ternyata tidak. Apa dia sudah jadi lunak karena curhat kemarin?
Dengan nada dingin, Sakuraba menyambung. "Aku tak akan menghakimi apa yang akan kau lakukan. Aku hanya menghakimi apa yang kau hasilkan, Kawahara-kun."
Kutarik kata-kataku kembali, dia memang mengerikan.
"Kalau begini caranya," kekularkan PFP di kantong celana, lalu kumainkan, "kurasa aku harus menamatkan rute heroine yang berhubungan dengan lari sekarang."
"Aku tak percaya. Kau mengambil keputusan dari hal itu?"
"Bodoh amat! Lagipula, dengan galge aku bisa mendapat pengalaman lebih banyak daripada dunia nyata."
Sakuraba menghela napas, sembari memejamkan mata. "Aku tak tahu, apakah itu hal yang harus dibanggakan atau tidak.
"Tapi memang, setiap orang punya pendekatan yang berbeda-beda." Sambung ia, mencoba menerima.
"Yap, memisahkanku dari galge. Sama saja dengan mengambil organ dalam tubuhku untuk hidup. Bisa dibilang ini simbiosis mutualisme."
Tak ada kata-kata maupun tanggapan dari Sakuraba setelah aku menjawabnya. Hanya ada tatapan dingin nan datar darinya seperti biasa, lalu ia kembali berjalan ke tempat duduk.
Tidak biasanya Sakuraba mengalah. Apa mood dia sedang baik? Atau mungkin sebaliknya?
Aku tak paham dengan jalan pikir perempuan dunia nyata.
YOU ARE READING
Project Revenge Do i going to help them get their Revenge?
RomanceApa kau pernah merasa dirundung dan berada di titik terbawah dalam hidup karena seseorang menyakitimu? Tenang saja dan jangan khawatir, semua itu akan teratasi dengan program baru kami yaitu Project Revenge. Sebuah program khusus dibuat untuk orang...