Kiraya dan Kanaya—dua perempuan yang menjadi sahabat sejak masa kanak-kanak sampai remaja. Memiliki rentang usia dua tahun di atas Kiraya membuat Kanaya menganggap Kiraya sebagai adiknya.
Tak ada rahasia apa pun di antara mereka. Seluk beluk kehidupan Kiraya diketahui oleh Kanaya begitu pun sebaliknya.Kiraya, gadis manis yang selalu menebarkan tawa akan berubah menjadi sosok pemberontak kepada Kailan—ayahnya.
Kecintaannya terhadap seni pahat selalu ditentang oleh sang ayah. Tidak sekali Kiraya harus rela tubuhnya menjadi samsak tinju. Ah, tidak ... ayahnya tidak pernah memukul dirinya dengan tangan kosong, sabuk kulit dan tongkat bambu adalah senjata andalannya—senjata yang selalu siap sedia kapan pun ayahnya mau.
Kiraya hanya mampu menerima pukulan demi pukulan. Saking terbiasanya, ia sudah lupa bagaimana rasanya. Jika, ayahnya puas menumpahkan segala kemarahannya, Kiraya langsung beranjak ke rumah Kanaya yang terletak di seberang rumahnya. Setiap kali Kiraya datang, Kanaya terus mengumpat dengan suara tertahan begitu melihat luka-luka di tubuh Kiraya. Segala unek-unek, kekesalan dan kemarahannya hanya bisa ia pendam.
Kailan selalu merasa jika Kiraya selalu mengadu ke rumah seberang—rumah yang juga milik sahabat sejak zaman sekolah menengah ke atas. Padahal tanpa mengadu, siapa pun bisa lihat luka lebam di sekujur tubuh Kiraya.
Sesekali mendesis, Kiraya menggigit jaketnya menahan nyeri. Dirinya pagi-pagi buta sudah terdampar di kamar sang sahabat. Awalnya ia hanya akan mengambil kotak obat dan kembali ke rumah tapi salahkan pendengaran Kanaya yang setajam silet meski tengah terlelap.
Sambil mengucek mata dan sesekali menguap, Kanaya duduk sambil menatap sosok yang sedang berjongkok menarik laci perlahan seolah takut menimbulkan suara.
Menyipitkan pandangan, Kanaya beranjak dan meraih kotak di bawah ranjangnya.
"Nyari ini?" tanyanya mengejutkan sang empu.
Membalikkan badan, Kiraya cengengesan. Bak pencuri ketangkap basah.
"Kok di situ sih, biasanya juga ditaro di sini."
Kanaya mendelik, "aku ngga mau ya kamu obatin luka sendiri tanpa aku tau."
Tanpa membalas, Kiraya melangkah mendekati Kanaya, lalu ia duduk berselonjor di atas lantai yang beralaskan karpet bulu berwarna cokelat, ia duduk membelakangi Kanaya. Menampilkan punggung yang samar tercetak garis-garis merah. "Katanya mau obatin ... buruan. Keburu pak tua balik dari masjid."
Mengembuskan napas, Kanaya perlahan menarik kaos biru Kiraya ke atas, seketika ia terkesiap melihat luka basah yang ditampilkan di sekujur bahu hingga punggung Kiraya, bahkan masih ada beberapa terus mengeluarkan cairan kental berwarna merah menandakan betapa dalamnya luka tersebut,
Darahnya bergejolak, napasnya memburu, tangannya terkepal rapat. Jantungnya seolah dipaksa tertutup rapat agar tak semakin berdarah. Ia ingin meraung, bersuara lebih kencang, menyuarakan ketidakadilan yang dialami sahabatnya. Tapi,.. semua tak mungkin—bukan ia takut, setiap kali pak Kailan mendengar ucapan-ucapan buruk terlontar meski hanya dua kalimat, Kirayalah orang yang menjadi korban kebengisan ayahnya.
Dengan tangan gemetar dan mata berembun, Kanaya beranjak keluar kamar menuju dapur.
Kiraya menelungkupkan kepala di antara lutut, ia menikmati sejenak suasana sunyi ini—seolah membiarkan keheningan menyembuhkan suara-suara ribut di dalam pikirannya. Jika tak sadar punggungnya dalam kondisi normal, Kirayasudah duduk bersandar, punggungnya terasa remuk. Pak tuanya memang tak setengah-setengah jika bertindak.
"Buat apa?" tanya Kiraya begitu Kanaya memasuki kamar , kedua tangannya membawa baskom berisi air hangat.
"Luka kamu lumayan dalem, harus dicuci dulu baru pake antiseptik."

KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophilia
Chick-LitKiraya, seorang gadis yang berjuang untuk meraih mimpinya dikala mendapat pertentangan dari sang ayah. Meski harus jatuh bangun, ia tak menyerah. Mimpinya adalah alasan ia untuk terus bertahan hidup. Dunia belum usai, ia masih bernapas yang artinya...