Dalam hidup ini, Barra memiliki banyak tanda tanya. Bahkan sejak kecil, Barra selalu penasaran tentang banyak hal. Ada banyak hal yang tidak dimengerti dan tidak diketahui. Sebelum anggukan paham, Barra tidak akan berhenti bertanya.
Pertanyaan Barra kecil terdengar sederhana. Kenapa Barra harus makan sayur? Apa hujan jahat, kenapa Barra tidak boleh bermain dengannya? Atau bagaimana burung terbang dan berakhir meminta diajarkan.
Semakin bertambah umur, pertanyaan-pertanyaan itu semakin berkembang. Tidak lagi bertanya kenapa permen rasanya manis? Tapi kenapa kita harus tumbuh dewasa? Kenapa kita tidak bisa tinggal pada masa kanak-kanak selamanya. Masa dimana kita tidak perlu tau alasan kita dilahirkan, alasan kita harus mengerti keadaan atau jawaban lain dari setiap tanda tanya.
Barra hanya ingin hidup sebagai anak kecil selamanya.
Menyingkirkan segala tanda tanya yang kian berkelana, Barra memilih untuk membiarkan. Memikirkan jawaban dari setiap pertanyaan hanya akan membuat Barra lelah. Lelah pada setiap ekspektasi dan harapan yang tidak jadi kenyataan.
Bukankah kita tidak perlu tau jawaban dari setiap pertanyaan.
Dibanding meminta alasan dan jawaban, kini Barra hanya perlu kepastian, bahwa semua akan baik-baik saja, ‘kan?
Suara decitan bola menyentuh lantai dengan keras menarik perhatiannya. Di depan sana, ada kawanan laki-laki sedang mendrible bola. Adapun kaum wanita berdiri di seberang, menyemangati para pemain dengan sorak membara. Peluh keringat membasahi pakaian, bukti seberapa keras usaha mereka mencetak poin. Berlomba-lomba menggiring bola dan menangkis serangan lawan demi membuat benda bulat itu masuk keranjang.
Barra buru-buru melepas pandangan. Mengamati mereka lebih lama hanya akan membuat Barra iri.
Di antara gelanggang lapangan basket yang sepi, Barra penasaran pada langkah kaki yang kian mendekat. Saat orang itu duduk disampingnya, barulah Barra menyadari bahwa Saga – Kakak tingkat Barra – datang dengan minuman ditangan.
Setelah berterimakasih, Barra menghabiskan air sampai setengah botol. Saga yang melihatnya tersenyum kemudian mengusap rambut Barra.
“Sesak?”
Barra menggeleng. Diambilnya handuk kecil untuk menyeka sisa keringat yang masih menetes. “Udah nggak,” jawabnya.
“Jamkos,” seru Saga mendahului ketika Barra menatapnya dengan raut wajah penasaran.
Anak itu pasti menanyakan keberadaannya disaat jam pelajaran masih berlangsung. Lagi pula mana mungkin anak tingkat 3 sepertinya bolos pelajaran disaat mereka perlu belajar keras untuk bisa diterima perguruan tinggi.
Saat perjalanan dari kantin ke kelas, Saga tak sengaja melihat Barra duduk sendiri di tepi lapangan. Khawatir terjadi sesuatu pada adik tingkatnya, Saga segera menghampiri Barra. Menyadari keringat yang membasahi wajahnya, tanpa pikir panjang Saga langsung memberi minuman yang ia beli.
Anak itu sepertinya sangat kelelahan. Peluh tak henti-hentinya menetes. Deru nafasnya pun masih berantakan. Meski Barra sendiri mengatakan bahwa ia sudah tidak sesak, tidak menutup fakta bahwa anak itu sempat merasa sesak.
“Kapan main ke rumah lagi Bar? Ibun kangen” Saga memecah hening diantara mereka.
Barra tertawa kecil, “Baru juga minggu lalu main, Bang.”
“Ya gimana, Bunda nanyain lo terus.”
Barra diam. Sudah seminggu Barra tidak berkunjung ke rumah Emi – Ibunda Saga – tapi Barra sudah merindu.Sebelumnya Barra bisa bebas bermain kemana pun selama Ayah tidak ada di rumah. Biasanya Ayah bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan mengurus bisnis tanpa pulang ke rumah. Jika Ayah tidak ada di rumah, Barra tidak perlu berhadapan dengan serangkaian pertanyaan dan tatapan tajam Ayah. Dan ketika sang Ayah sedang berada di rumah, Barra tidak punya kebebasan untuk melakukan apapun yang diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas (Who I Am?)
Teen FictionSepanjang hidup, Barra hanya tau kata 'sembunyi'. Diam dan tidak menarik perhatian. Selama tidak ada yang mengetahui identitasnya, semua aman. Namun, Barra lupa bahwa hidupnya telah dirancang oleh semesta. Bahwa saat ini, sesuatu tengah terjadi. Ad...