Bab 3 - Barra's Wish

261 39 8
                                    

Selesai menutup pintu mobil, Barra mengekor di belakang Saga. Berjalan menuju kediaman Saga dengan langkah riang. Sepertinya hari ini suasana hatinya sedang baik. Barra tidak berhenti bersenandung membuat Saga yang mendengar diam-diam tersenyum.  Bertanya-tanya apa yang terjadi pada Barra sebelum Saga menemuinya.

Sesampainya di ambang pintu, Barra langsung mengedarkan pandangan. Rumah besar berlantai dua yang merupakan gabungan arsitektur modern dan tradisional. Sentuhan palet warna modern yang segar dipadukan dengan elemen-elemen khas Jawa, menciptakan keseimbangan yang harmonis. Kombinasi konsep ini menciptakan ruang yang unik dan menarik. Setiap menapaki rumah Saga, Barra selalu merasa kagum.

Melupakan sejenak tentang konsep rumah Saga, Barra berjalan lebih dalam. Mencari keberadaan ibunda Saga dengan kaki riang kesana kemari. Tak lupa seruan panggilan kepada Emi. Terlihat tidak tau malu tapi Barra sudah kepalang akrab dengan rumah Saga, kepada beberapa pekerja, pun dengan beberapa penghuni lain.

“Bar, jangan lari-lari!” Saga berusaha memperingati, tapi yang dipanggil pura-pura tuli.

“Barra, Ibun disini!” Seruan itu membuat Barra menghentikan langkah kaki. Saat berbalik dan melihat Emi di bawah tangga, kakinya dengan cepat menuruni anak tangga. Tidak sabar untuk segera memeluk wanita itu.

Saga dan Emi kompak menahan napas kala Barra menuruni anak tangga dengan cepat. Secara bersamaan mendekat kearahnya. Takut sekali anak itu tiba-tiba tersandung kakinya sendiri dan terjatuh.

Emi tidak bisa menahan senyum ketika pelukan Barra begitu erat. Dirinya sangat merindukan Barra. Kehadirannya selalu ditunggu. Bagai pelipur lara, kehadiran Barra menutup satu bagian kosong di hatinya.

Sejak Saga mengenalkan Barra, Emi selalui dihantui rasa penasaran. Ingin mengenal lebih banyak tentangnya. Awalnya, Emi hanya mengenal bocah berisik yang selalu menjahili anaknya. Lambat laun, cerita tentang Barra melalui Saga senantiasa mengisi harinya. Sampai ketika potongan-potongan kisah itu ia jadikan satu, Emi menemukan satu hal.

“Barra tambah ganteng, ya. Makin tinggi juga dari Ibun.” Ucap Emma sambil menyisir poni panjang Barra.

Literally, baru seminggu lalu Ibun ketemu Barra. Nyatanya Barra tetap sama, malah tinggian Saga, tuh.” Di ujung sofa sana, Saga menekuk muka. Berlagak cemburu dengan kedekatan Emi dan Barra. Ditambah kata-kata yang sengaja memancing amarah Barra.

“Yang penting gua makin ganteng, nggak kaya lu jelek.” Katanya sambil menjulur lidah, balas mengejek Saga.

"Lambemu!" (Mulutmu!)

Sebuah bantal sofa melayang ke arah Barra namun meleset karena Barra buru-buru ditarik Emi. Karena tembakannya meleset padanya, Saga jadi emosi sendiri. Merutuki diri untuk tidak bermain-main dengan bocah bandel bernama Barra.

“Sagara!” Emi memperingati.

Satu-satunya wanita disana menggelengkan kepala, menyuruh anak semata wayangnya itu untuk berhenti mengusili Barra. Namun Barra mengambil kesempatan ini untuk menjahili Saga. Maka yang terjadi selanjutnya adalah pergulatan keduanya di atas sofa. Membiarkan Emi hanya bisa menggeleng kepala sambil menunggu kapan pertengkaran itu selesai.

Diam-diam, Emi menerbitkan senyum. Merasa senang dengan kedekatan Saga dan Barra. Emi mengenal Saga, anaknya itu cenderung pemalu dalam mengenalkan teman apalagi sampai membawanya berkunjung ke rumah. Tapi Barra, anak itu mampu membuat Saga merasa nyaman. Anak itu mampu membuat ruang berharga di dalam hati Saga. Membawanya masuk kedalam lingkaran kehidupannya.

Begitu banyak syukur terucap. Kesempatan bahagia ini tidak bisa dilewatkan. Sayang, ketika bahagianya ingin mencapai puncak, ada mendung datang. Kelabu itu selalu data dikala ia sedang melihat Saga dan Barra. Sejak Saga membawa Barra menemuinya, tidak ada rasa senang tanpa rasa sedih. Emi tidak bisa memisahkan kedua emosi itu.

Identitas (Who I Am?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang