Tama menuruni anak tangga dengan hati-hati. Sesekali melirik jam tangan di tangan kiri. Masih ada waktu sebelum pergi. Saat tiba di anak tangga terakhir, Tama baru menyadari kehadiran Rama yang duduk berdiam diri. Pasti menunggu Hanna yang tak kunjung menampakan diri. Tama tidak terlalu peduli. Toh memang wanita butuh waktu lama untuk mempercantik diri.
Awalnya Tama hendak bergabung dengan Rama. Menyimpan tenaga sebelum menghadapi para kolega. Namun siluet Barra tanpa sadar membawanya padanya. Melihat apa yang sedang dilakukan saudaranya.
Tepat saat Tama tiba di ambang pintu, Barra baru selesai menutup pintu kulkas. Tangannya membawa sekotak puding coklat. Menyendokan puding ke dalam mulut sambil berjalan. Belum menyadari siapa yang hadir dan memperhatikan. Sampai ketika Barra duduk di kursi pantri, barulah Barra sadar. Anak itu menaikan alis sambil tetap memakan pudingnya. Mengisyaratkan pertanyaan mengapa Tama hanya memandangnya tanpa mengatakan apa-apa.
Disisi lain, Tama menghela nafas. Berjalan pelan ke arah Barra kemudian mengambil tempat di sampingnya.
Tama masih diam. Mengamati Barra yang juga tidak mengatakan sepatah kata. Anak itu asyik menyantap puding tanpa terusik dengan kehadirannya. Diamnya mereka rupanya berlangsung lama. Tidak ada satupun diantara mereka berusaha memecah suasana.
Sejujurnya, Tama punya pertanyaan. Tentang apa yang terjadi antara Barra dan Rama tadi malam. Tama tidak abai ketika mendengar keributan, apalagi ketika menyangkut Barra – saudaranya. Saat hendak keluar kamar dan mengetahui apa yang terjadi, Tama sudah terlambat. Dari sudut pintu yang belum sepenuhnya terbuka, Tama melihat Barra berjalan cepat ke kamarnya, yang kebetulan berada tepat di samping kamarnya. Tama melihat raut khawatir Hanna di depan kamar Barra yang tak kunjung dibuka. Rupanya Hanna juga mendengar keributan tadi malam.
Tama hanya ingin tau, apakah Barra baik-baik saja? Setelah apa yang terjadi kemarin malam, mengapa Barra bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Tetap damai memakan makanan favoritnya, sementara Tama sendiri tidak bisa tenang.
“Lo kalau mau puding, ada banyak di kulkas. Jangan ambil puding yang lagi gua makan."
Tama menggeleng pelan. "Buat Lo semua aja pudingnya. Sebelum makan puding udah makan? Obat nya gimana?"
"Aman." Kata Barra sambil menunjukan jempol tangan.
Setelahnya tidak ada percakapan untuk beberapa saat. Lebih tepatnya Tama yang diam. Dia sedang menunggu waktu yang tepat. Tama ingin menanyakan soal tadi malam.
"Telen dulu, Bar. Ntar keselek."
Tama buru-buru mengambil segelas air dan ditempatkan di samping cup puding. Saudara nya itu ingin bicara tapi masih menyendokan puding ke mulut.
"Udah. Gua mau tanya. Semalam kenapa nggak jadi pergi, malah jadinya malam ini?"
Tanpa diduga, Barra lebih dulu membahas soal semalam, meskipun tidak menyinggung tentang pertengkarannya. Anak itu pasti bertanya-tanya mengapa sang ayah ada di rumah sementara acara seharusnya dilaksanakan tadi malam.
"Ayah salah liat jadwal."
Barra mengangguk sebagai balasan. Dirinya kembali memakan puding dalam diam.
Bicara soal acara temu kolega malam ini, Tama baru menyadari satu hal. Ada perbedaan pakaian yang mereka pakai. Barra dengan kaus putih lengan pendek dan celana hitam panjang. Berbanding terbalik dengan tuksedo hitam yang Tama kenakan. Tama terlalu fokus pada masalah semalam sampai lupa bahwa lagi-lagi Barra kembali absen dari pertemuan kolega.
Sebetulnya, Tama sudah terbiasa dengan situasi ini. Dimana mereka kembali meninggalkan Barra seorang diri. Sudah perintah Rama untuk tidak memperkenalkan Barra pada publik. Seluruh keluarga pun tidak bisa membantah kalau tujuannya untuk keselamatan Barra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas (Who I Am?)
Teen FictionSepanjang hidup, Barra hanya tau kata 'sembunyi'. Diam dan tidak menarik perhatian. Selama tidak ada yang mengetahui identitasnya, semua aman. Namun, Barra lupa bahwa hidupnya telah dirancang oleh semesta. Bahwa saat ini, sesuatu tengah terjadi. Ad...