Barra mengatur napas dengan susah payah. Berjalan dari luar mansion sampai ruang tengah nyatanya membuat dada sesak. Saat pelajaran terakhir, Barra sudah kesulitan bernapas. Kiranya hanya berlangsung sesaat namun itu berlangsung sampai saat ini. Ditambah batuk yang tak kunjung reda. Barra sungguh kewalahan.
“Tuan muda, tidak apa-apa? Butuh sesuatu?”
Seorang maid diam-diam menghampiri. Wanita paruh baya dengan rambut putih hampir mendominasi itu menatap Barra cemas. Khawatir penyakit anak majikannya kambuh apalagi mendengar batuk yang tak kunjung berhenti.
Barra menoleh untuk memberi senyum menenangkan. Berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Barra hanya mencoba meyakinkan diri, semoga ini cepat mereda. Berharap tidak berakhir collapse dan merepotkan para maid. Maka Barra berusaha keras mengatur napas dan menghalau pusing yang mulai mendera.
“Bi, Barra sering bilang, jangan panggil tuan muda. Panggil nama saja, ya.”
Maid itu menunduk untuk menghindari tatapan mata Barra. Menyadari hal itu, Barra menghela napas pelan. Tau sebab diamnya sang maid. “Kalau nggak ada Ayah, panggil Barra saja ya, Bi. Nggak perlu takut. Barra lebih nyaman dipanggil nama.”
Mendapati sang maid mengangguk, Barra kembali tersenyum. “Makasih, Bi. Oh ya, boleh Barra minta air hangat?”
Setelah kepergian maid itu, Barra langsung menyandarkan punggungnya ke sofa. Memejamkan kedua mata sembari mengatur nafas. Inginnya istirahat sebentar sebelum membersihkan diri. Padahal tidak ada kegiatan fisik di sekolah tapi Barra cukup kelelahan. Tidak tahu mengapa akhir-akhir ini tubuhnya mudah merasa lelah.
Walau dengan mata memejam, Barra sadar ada beberapa maid yang memperhatikan. Mencuri pandang ke arahnya sambil melakukan pekerjaan. Mungkin karena suara batuk yang masih terdengar meski tak separah sebelumnya. Bersyukur pusing tidak lagi terasa, hanya tinggal mengatur napas yang masih sesak.
“Bar, lo oke?”
Suara Tama reflek membuat Barra membuka mata. Kaget dengan kehadiran Tama di depan mata. Barra juga mendapati Hayden duduk disampingnya. Menatap dengan mata penuh kekhawatiran. Terlalu fokus mengatur napas, Barra sampai tidak dengar langkah kaki mereka. Secara bersamaan, maid tadi datang mengantark air hangat untuk Barra. Tama dengan cekatan mengambil gelas itu dan langsung diberikan pada Barra.
“Kenapa? Ada yang sakit?” Tanya Tama setelah Barra selesai meneguk air hangatnya.
“Nggak.”
“Terus kenapa napas lo kayak pelan banget gitu? Sesak? Kalo sakit ngomong, Bar.”
“Gue oke, Tam. Stop tanya-tanya dan lo, Hayden. Stop ngeliatin gue. Kalian nggak perlu khawatir. Gue baik-baik aja.” Tak lupa Barra berikan senyum menangkan. Cara ampuh agar mereka berhenti khawatir.
Hayden akhirnya berhenti menatap Barra. Dirinya merubah posisi dengan menyandarkan kepala pada pundak Barra. Dalam sekejap, ekspresinya berubah. Bukan ekspresi lega seperti yang Barra harapkan. Hayden justru memasang wajah murung. “Kalau mau bohong itu yang total. Muka pucet lo nggak bisa bohong kalo lo baik-baik saja. Napas lo aja kedengeran gitu. Abis sesak, kan?”
Tidak punya hal untuk dibantah, Barra memilih diam. Ia mungkin bisa menyembunyikan batuk yang sedari tadi mengganggu, tapi tidak dengan wajah pucat nya. Mungkin itu sudah terlihat sejak pulang tadi, makanya maid tadi datang dan menanyakan kondisinya.
Sejujurnya, Barra benci situasi ini. Dia tidak suka kambuh di depan keluarga dan temannya. Itu hanya mengundang kekhawatiran mereka. Apalagi jika collapse, Barra akan sangat menyalahkan diri bila terlihat lemah di depan mereka. Walau Barra tau mereka tidak akan berhenti mengkhawatirkannya, Barra akan selalu mencoba meyakinkan mereka bahwa ia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas (Who I Am?)
Teen FictionSepanjang hidup, Barra hanya tau kata 'sembunyi'. Diam dan tidak menarik perhatian. Selama tidak ada yang mengetahui identitasnya, semua aman. Namun, Barra lupa bahwa hidupnya telah dirancang oleh semesta. Bahwa saat ini, sesuatu tengah terjadi. Ad...