Madesu

10 1 0
                                    


Namaku Rendy, dengan akhiran y, bukan i. Mungkin supaya terlihat lebih modern, atau lebih keren terdengar. Tapi apapun itu, ada sebuah harapan dan doa yang disematkan oleh kedua orang tuaku dibalik nama yang aku sandang. Aku adalah seorang pengangguran, setidaknya hingga saat ini. Padahal jika ditelisik, aku mempunyai jadwal padat setiap harinya. Tak kalah dengan rutinitas para pengusaha yang dibilang sukses.

Aku memang pernah sempat bekerja di sebuah perusahaan, tapi memutuskan untuk resign. Aku lebih memilih untuk memutuskan keluar bekerja karena aku tidak mau nalar dan batinku menjadi rusak karenanya. Bagiku bekerja bukan semata – mata mencari uang. Aku pun lebih memilih menjadi pengangguran sukarela, atau sengaja menganggur untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada akhirnya, aku menjadi seorang pengangguran permanen. Bukannya aku tak berusaha mencari pekerjaan kembali, tapi memang belum ada hasil. Untungnya aku tak punya cicilan ataupun hutang, dan mempunyai sedikit tabungan. Tabungan ini memang aku sisihkan dari gaji saat menjadi karyawan. Penting untung mempunyai tabungan dan tidak mempunyai hutang. Setidaknya itu menurutku.

Sampai detik ini pun, aku masih tetap berusaha untuk mencari pekerjaan. Setidaknya, untuk menghargai dan menghormati bumi, tempat dimana aku menumpang hidup. Aku tidak mau dikatakan, numpang begitu saja, atau gratisan. Selain berusaha mencari pekerjaan, aku pun mengisi waktu dengan membaca untuk menggali informasi terkini, setidaknya menambah nutrisi pada otakku. Juga, membantu pemerintah untuk meningkatkan minat baca penduduk Indonesia yang begitu rendah. Sampai saat ini, setidaknya informasi yang aku baca, minat baca masyarakat Indonesia begitu sangat memprihatinkan, dari 1000 orang hanya satu orang saja yang rajin membaca. Menempatkan Indonesia pada ranking buncit, setidaknya mendekati urutan buncit.

"Ren, mau kemana?" sapa seseorang mendekatiku dengan sepeda motornya.

"Biasa, ke Pak Haji."

"Mau ku antar, tidak?"

"Tak usah. Lagi pula dekat ini, jalan kaki saja."

"Kalau begitu, aku duluan, ya."

"Hati – hati, Leh!"

"Semoga ada kabar baik untukmu hari ini, Ren!" ucap lelaki itu menutup perbincangan sambil menyela sepeda motornya dan meluncur ke arah Selatan.

Nama lelaki itu adalah Soleh. Soleh adalah teman SMP dan SMA-ku, walau tak pernah satu kelas. Soleh pernah diterima di 2 kampus setelah menamatkan SMA-nya, salah satunya di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Tapi, akhirnya ia melepas kampus yang berlogo Makara itu, belum genap satu semester. Alasannya, waktu bersantainya berkurang karena tugas-tugas yang diberikan teralu banyak. Itu menurutnya. Walau mungkin ada alasan lainnya selain waktu bersantainya berkurang cukup drastis, biaya. Seperti itulah hidup, seseorang berhak menentukan pilihan hidupnya, walau alasan yang diberikan mungkin tidak bisa diterima sebagian yang lain. Pada akhirnya, kamulah yang menikmati hidupmu, seperti si Soleh. Kini, ia bekerja di sebuah perusahaan dengan jabatan yang cukup lumayan. Ah, memang dasarnya, ia adalah orang yang pintar dan pekerja keras.

Aku menyusuri jalan – jalan menuju rumah Pak Haji yang mempunyai kolam pemancingan. Aku ke sana bukan karena aku ingin memancing, tapi karena di sana ada wi-fi gratis! Pak Haji membolehkanku untuk menggunakan fasilitas wi-fi itu semauku. Pak Haji juga membolehkanku untuk memancing ikan, dan sekali lagi, gratis! Seringkali, akupun diajaknya makan siang bersama keluarganya, atau pegawai yang lain. Terkadang aku berpikir, kebahagiaan itu terletak bukan karena punya banyak uang dan kedudukan yang tinggi, melainkan pada hati yang bersyukur.

Tapi, aku cukup tahu diri, aku tidak bisa memakai fasilitas yang diberikan oleh Pak Haji dengan begitu saja, alias cuma – cuma. Aku turut membantu usaha Pak Haji, mengantar pesanan atau sekedar turut membantu membersihkan kolam ikan. Oya, selain kolam pemancingan dan rumah makan, Pak Haji juga mempunyai usaha peternakan.

Antara Jakarta, Solo, dan LuksemburgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang