Pertemuan Yang Mengesankan

3 1 0
                                    

Waktu berganti hari. Sudah beberapa hari ini, aku masih menunggu penempatan. Sedangkan Angin, ia sudah berada di Jakarta untuk beberapa hari. Besok lusa, Angin akan terbang ke Brussels, salah satu kota di Belgia sebelum akhirnya meluncur ke salah satu kota di Jerman. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Hari – hari menunggu penempatan, aku isi dengan banyak membaca. Selain tentu saja menikmati kehidupan di Kota Solo. Cuaca hari itu terlihat cerah.

Aku tiba – tiba teringat dengan Angin kemarin. Angin memberitahuku kalau ia diminta untuk pergi ke kawasan Serpong. Namun, Angin tak tahu harus menggunakan transportasi apa karena memang, ia tak pernah mengunjungi kawasan itu sebelumnya. Setelah melihat alamat yang dituju dengan seksama, pada akirnya ia turun di Stasiun Rawa Buntu, dan dilanjutkan dengan menggunakan ojek. Di sana, Angin bertemu perwakilan perusahaan, sebelum lusa ia terbang ke Brussels, Belgia.

Suara sirine ambulance terdengar kencang. Ambulance itu memasuki sebuah parkiran yang sepertinya adalah sebuah rumah sakit. Aku berhenti disalah satu sudut jalan tak jauh dari rumah sakit itu. Menikmati Kota Solo disebuah bangku panjang yang berada di trotoar Jalan Slamet Riyadi. Aku kembali teringat dengan masa – masa sulit itu. Masa ketika kesulitan itu terselip kemudahan. Ya, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Pasti, bukan terkadang.

Aku sempat berpikir, jika nanti aku ternyata batal ditempatkan oleh perusahaan, atau dengan kata lain gagal dan harus kembali membantu di pemancingan Pak Haji, aku tak akan kecewa. Aku rela dan menerima semua itu. Aku malah bersyukur mendapatkan kesempatan ini. Mendapatkan pengalaman yang sebelumnya tak pernah kudapat. Pagi itu, aku menikmati aktifitas di Kota Solo.

Tiba – tiba hujan turun setengah deras. Aku berlari mencari tempat berteduh. Aku menuju sebuah teras sebuah bangunan. Lumayan untuk tempat berteduh. Setidaknya, aku tidak basah kuyup. Hanya aku seorang yang terlihat berteduh di tempat itu. Oh, hujan. Cuaca yang cerah, tiba – tiba berganti hujan deras. Begitulah Tuhan ketika sudah berkehendak. Apapun bisa Ia rubah.

Terlihat seorang laki – laki yang tampaknya seumuran denganku membawa sebuah bungkusan berukuran cukup besar. Entahlah, apa yang sedang ia bawa?

"Wah, basah semua pakaianku," ucap lelaki itu setengah tertawa.

Entahlah, apa ia melihatku berada tak jauh darinya, mengingat hujan semakin deras. Lelaki itu bahkan tak terlihat mengeluh ataupun kesal sama sekali karena hampir sebagian pakaian yang dikenakannya basah kuyup. Lelaki itu berpenampilan cukup sederhana. Mengenakan kaos dan celana panjang bahan serta mengenakan sandal.

Lelaki itu membuka bungkusan yang tertutup dengan plastik warna hitam. Ternyata sebuah keranjang bertingkat berisikan beberapa menu makanan. Lelaki itu seperti sedang memeriksa kondisi yang ada di dalam keranjang itu.

"Jualan apa?" tanyaku.

"Lontong bakwan. Somay ikan tenggiri juga ada," jawabnya.

Hujan – hujan seperti ini, menyantap lontong, bakwan, dan somay ikan tenggiri rasanya begitu nikmat. Ah, sesuatu yang tak mungkin ditemui jika nanti aku bekerja di negeri orang.

"Satu porsi," ucapku semangat tanpa pikir panjang.

"Satu porsi?" tanya si penjual itu tak kalah semangatnya. Akupun membalasnya dengan anggukan kepala.

Aku menyaksikan lelaki itu menyiapkan pesananku dengan riang gembira dan penuh semangat. Ia membuka keranjang berbentuk persegi yang ada dibagian bawah. Lelaki itu menggunakan gunting untuk memotong bakwan. Lalu, membuka keranjang yang berada diatasnya yang berisikan lontong. Suara guntingan bakwan itu sepertinya begitu krispi. Bakwan itu sepertinya dimasak krispi atau kering.

"Sudah lama berjualan?" tanyaku.

"Lumayan, sudah hampir 5 bulan. Jaman sekarang susah mencari pekerjaan. Apa negara mau memberikan pekerjaan kepada para pengangguran di negeri ini?" celoteh lelaki itu.

Antara Jakarta, Solo, dan LuksemburgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang