Kota Solo masih setia menemaniku. Walau, aku baru pertama kalinya berkunjung, Kota Solo adalah salah satu kota yang nyaman. Entahlah, apa mungkin ini dampak dari karena aku terlalu lama menganggur atau bukan? Menjadikanku seperti katak dalam tempurung. Aku membuka buku agendaku. Jadwal siang ini adalah kami mengunjungi sebuah museum dan galeri. Namun, perusahaan tak menjelaskan untuk apa kami diminta untuk berkunjung ke sana? Bukankah, ini sesuatu yang aneh? Apa mungkin perusahaan memang sedang ingin menguji kami kembali?
Handphone-ku berdering.
"Hallo, Ren. Apa kamu sudah sampai?"
"Hallo. Aku baru saja akan berangkat."
"Oke. Sampai berjumpa di sana."
Arsy menutup pembicaraan. Ah, kenapa lekas ditutup? Aku baru saja ingin menanyakan sesuatu. Tempat menginapku tak jauh dari museum dan gallery yang akan dikunjungi. Arsy menginap di kediaman kerabatnya. Arsy sendiri memang berasal dari Jogja. Sebelumnya, ia bekerja di Bandung. Arsy dan Angin pun, sama sepertiku, diminta untuk memecahkan kasus.
"Aku diminta membuat paper dengan beberapa topik yang berbeda, salah satunya dengan Bahasa Jerman," ucap Arsy yang memang fasih dalam berbahasa Jerman.
Aku sempat melihat setelah acara pemaparan profile perusahaan kemarin, Arsy berbincang dengan Mister Baden berbahasa Jerman. Walau, aku tak paham Bahasa Jerman, tapi aku cukup familiar dengan bahasanya. Siapa yang tak tahu negara Jerman, bukan?
Aku keluar dari kamar hotel dan menuruni lift. Hal yang sepertinya akan menjadi rutinitasku kedepan. Salah satu petugas hotel dengan ramah menyambutku setelah tiba di loby. Disambut oleh salah satu security yang membukakan pintu loby. Bisnis perhotelan tidak hanya didukung fasilitas dan sarana prasarananya, tapi juga keramah tamahan petugasnya yang tak kalah penting.
Aku berjalan menyusuri ruas - ruas jalan Kota Solo. Aku begitu menikmati selama berada di Solo, walau baru beberapa hari. Cuaca hari itu sedikit mendukung. Tak terlalu panas. Adem. Entahlah, takdir seperti apa yang tiba - tiba membawaku sampai ke titik ini.
"Sedang memikirkan apa kamu, Ren?" tiba - tiba seseorang laki - laki merangkul pundak kananku.
"Habis dari mana kamu, Ngin? Tak ada suara, sudah berada di sampingku."
"Memangnya kamu menginap di hotel mana, Ngin? Kenapa kita tak satu hotel saja?" tanyaku lagi sambil berjalan menyusuri bangungan - bangunan di pinggir Kota Solo
Angin tertawa mendengar pertanyaanku. "Hotel apanya? Aku tak menginap di hotel."
"Lalu?"
"Mengontrak. Aku sudah tinggal di Solo sudah hampir 2 bulan. Jadi, pihak perusahaan tak memintaku untuk tinggal di hotel."
Gerimis tiba - tiba turun. "Ngin, lari!" ucapku.
Aku pun berjalan cepat menuju arah galeri yang tak jauh lagi. Tapi, saat aku menengok, Angin malah sedang diam berdiri. Ia tak ikut lari bersamaku. Ia seperti sedang berdoa dengan khusyuk, atau ia mungkin sedang menyambut gerimis di Kota Solo. Aku pun kembali menghampiri Angin.
"Alhamdulillah," ucapnya.
"Kamu sedang apa, Ngin? Bukannya bergegas malah berdiam diri."
"Tentu saja berdoa. Mengapa takut dengan gerimis? Padahal itu adalah anugrah."
Aku terdiam mendengar jawaban Angin. Kami kembali berjalan menuju galeri. Baru kali ini aku melihat orang seperti Angin. Berdoa? Apa yang ia panjatkan? Beban hidup seperti apa yang sedang dipikul oleh Angin? Aku bertanya - tanya di dalam hatiku. Atau mungkin, aku sendiri tak memahami arti sebuah kehidupan? Hari itu, aku belajar satu hal dari Angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Jakarta, Solo, dan Luksemburg
AventuraManusia mempunyai rencana, tapi Tuhan mempunyai skenario lain. Rendy, memutuskan resign dari perusahaan. Ia memilih untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk rutinitas perkantoran selama dua sampai tiga bulan. Setelahnya, ia akan mencari pekerjaa...