3. pembawa sial

225 22 3
                                    

Always sweet~Sybilla

.

.

.
Gak suka gak usah baca, sybill ga maksa! Kalau cuma mau ngejek, plagiat, atau lain lain sybill beneran cakar kalian pake cakarnya Laluna. Izin Kara dulu sih.
.

.

.
Happy reading all~!
(⁠◠⁠‿⁠・⁠)⁠—⁠☆

"Latu na kala itu mbu, kalau laja? Kala Ndak tau.."

-Ryu Kara Denalfian-

Pagi hari telah tiba, matahari dengan malu malu menyembul dari balik awan tebal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari telah tiba, matahari dengan malu malu menyembul dari balik awan tebal.

"Mbuu, cucu Kala mana!?" Tanyanya menjerit saat tak menemukan susu di sampingnya. Isvara hanya memejamkan matanya sejenak guna menetralkan jantungnya yang kejedar kejedor karena jeritan Kara.

"Sabar sayang, ini lagi dibuatin.." jawabnya lembut. Kara mengangguk sebagai jawaban.

***

Rambut bergelombang milik Kara bergoyang goyang saat Kara berlarian di halaman rumah. Dengan Laluna tentunya. Kucing itu setia berlarian mengikuti Kara yang membawa bola mainannya.

"Luna?" Laluna memiringkan kepalanya dan berhenti berlari kala melihat seseorang berpakaian serba hitam di depan rumahnya.

"Laluna! Kenapa belhenti? Ayo kejal ini!" Kara ikut berhenti. Mengikuti arah pandang kucingnya, tidak ada siapa siapa.

"Kamu lihat ciapa cih? Ndak da Olang tuh.." herannya. 

Laluna menengok kearah Kara yang menatapnya heran, lalu kembali lagi menatap kearah orang misterius tadi. Eh? Hilang?!

"Luna, Luna!?" Pekiknya kebingungan. Ia berbolak balik menatap Kara lalu ke depan rumah. Kaki depannya menunjuk kearah orang misterius tadi. Kara ikut kebingungan karena melihat tingkah laku Laluna.

"Laluna.. ayo main lagi-" matanya menyapu seluruh halaman rumah. Lalu kembali menatap Laluna yang masih kebingungan, "-tapi di dalam lumah.." lanjutnya saat itu juga.

Laluna mengangguk, ia mengikuti arah langkah Kara kedalam rumah yang nampak sederhana itu. Wajah Kara menggelap saat itu juga, sepertinya Kara mengetahui bahwa dari tadi ada yang mengintai mereka seperti mengintai mangsa.

"Mbu.." Kara mulai merengek mencari ibunya. Kedua tangannya merentang dengan wajah cemberut, kegelapan di wajahnya telah hilang.

"Ada apa, sayang?" Isvara datang dari arah dapur, ia baru selesai memasak untuk sarapan pagi. Kara menggeleng, ia hanya butuh pelukan.

"Peluk.." ujarnya. Isvara mengangguk dan memeluknya.

"Mbu.. ini calah Kala ya?"

"Hm? Kenapa Kara bilang kayak gitu?" Isvara menatap penuh pengertian mata berlapis air milik Kara. Anaknya sudah hampir menangis entah karena apa.

"Kala bikin mbu nanis.. Kala nakal.."

"Ibu nggak nangis kok, kata siapa?"

"Kata Olang Olang kala bikin mbu sedih.. Kala anak pembawa sial.. sial itu jahat kata na.." ujar Kara dengan tangisan yang ia tahan. Kara selalu mendengar kata kata yang kurang pantas dari penduduk wilayah Arum.

"Hei, anaknya ibu.. jangan nangis.. ibu senang kok Kara ada disini, Kara bukan anak pembawa sial, Kara anak pembawa kebahagiaan. Buktinya ibu senang Kara disini.. ibu nggak pernah nangis karena Kara kok," Isvara mengusap pipi lembut anaknya. Kenapa hanya Kara yang mendapat perlakuan seperti itu? Kenapa bukan dirinya?

"K-Kala Ndak mau mbu sedih.. hiks.. Kala mau mbu senang setiap hali.. tanpa Kala Ndak papa," ujarnya lagi. Menatap manik hijau milik ibunya dalam dalam.

"Kara jangan ngomong kayak gitu.. ibu bahagia kalau Kara ada, jangan buat ibu sedih, Kara," Isvara mulai terhanyut dalam percakapan. Dirinya ikut menangis.

"Tuh kan.. mbu nanis.. gala gala Kala.. Kala jahat.." bibirnya melengkung kebawah, wajah bersalah yang tercetak benar benar menandakan bahwa dirinya bersalah dan menyesal. Ini pertama kalinya, Kara memasang ekspresi itu.

"Ibu nangis karena Kara ngomong kayak gitu, tolong.. ibu nggak mau tahu, pokoknya Kara nggak boleh ngomong kayak gitu lagi atau ibu beneran pergi ninggalin Kara. Emang Kara mau?" Kara menggeleng ribut.

"Maafin ibu, Kara.."

"Kala sedih.."

Little KaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang