"APA INI AZURA!" teriakan yang baru saja di lanturkan menggema keseluruh ruangan, lelaki yang hampir berkepala lima terlihat melempar kertas nilai milik Azura, tepat mengenai kepala Azura.
"Ayah, maaf Azura tadi ngga fokus." Azura tampak menundukkan kepalanya, ia terkejut saat Dirga-Ayah Azura melempar kertas nilai miliknya, dan kini Azura semakin merasa takut tak kala juga tubuhnya bergetar hebat.
"SUDAH SAYA PERINGATKAN!, Saya malu Azura memiliki anak seperti kamu, saya mau kamu mendapat nilai seratus Azura! Kenapa kamu mendapat sembilan puluh delapan Azura!," Lagi, Dirga kembali berteriak kepada Azura.
"Sekarang, kamu saya hukum, anak tidak berguna!" Dirga berucap tanpa memikirkan perasaan Azura.
Dirga kini menarik tangan Azura secara paksa, Azura sudah menangis, wajahnya memerah, mata, hidung, telinga, juga ikut serta memerah. Sungguh, Azura kini terlihat kacau.Sesampainya di depan gudang, Dirga membuka pintu gudang, terlihat gudang tersebut memiliki tangga yang menurun, dari atas dapat terlihat, gudang tersebut sangat kumuh tidak memiliki lampu, jaring laba-laba ada dimana-mana, debu-debu bertebaran, banyaknya bangkai serangga entah itu yang sudah lama, ataupun yang masih baru, bahkan di dalam gudang yang berisikan bangkai dan barang bekas ini, terdapat beberapa bercak darah yang telah mengering, bisa di pastikan ini milik Azura.
"Ayah, Azura gak mau disini, Azura gak mau yah, Azura janji besok Azura bakalan dapet nilai seratus sesuai kemauan Ayah, Azura janji Yah, jangan kurung Azura disini yah, Engh, Engh, ayah Azura mohon jangan kurung azura disini."
Tanpa rasa bersalah ataupun belas kasih untuk Azura, Dirga mendorong Azura hingga Azura terguling ke anak tangga dan jatuh di lantai papan gudang yang berada di bawah tanah, Dirga pergi meninggalkan Azura, sendiri.
•
•
•
Setelah tadi Azura di Dorong, Azura pinsan cukup lama.
Sekitar setengah jam Azura tersadar, ia merasa kepalanya kini sakit, jauh dari kata sakit, bahkan ini sangat sangat sakit, tidak seperti biasanya.
Tidak lama setelah Azura tersadar, hidungnya mengalami mimisan, bukan dengan darah yang hanya menetes, tapi yang benar-benar mengalir deras, Azura melihat gelas yang biasa dirinya gunakan untuk menadah darah tergeletak begitu saja, ia mengambil gelas tersebut dan Mulai menadahkan darah yang mengalir deras dari hidungnya.Selagi ia menadah darah tersebut, ia mencoba mencari kain untuk dirinya menghentikan pendarahan menggunakan kain tersebut, dan Azura menemukan kain untuk dirinya menutupi hidungnya yang kini darahnya masih mengalir, tetapi tidak sederas seperti sebelumnya.
Saat Azura melihat ke gelas yang ia gunakan untuk menadah darah yang mengalir deras, ia terkejut saat melihat gelas yang panjangnya kira-kira 13cm hampir setengah tertutupi darah miliknya.
"Lebih banyak dari yang kemarin." Azura bergumam, masih memperhatikan darah miliknya.
"Azura jadi sedih dengar apa yang ayah bilang tadi, Azura se-engga berguna itu ya yah? Azura se-bodoh itu ya? Azura ga pantes lahir ya yah? Maafin Azura ya yah?, Ayah, maafin Azura kan?." Azura terus melanturkan kata-kata yang tidak seharusnya ia lanturkan, Azura terus bergumam maaf pada ayahnya, padahal ayahnya saja tidak pernah melirik dirinya sedari dulu."Sejujurnya, Azura lelah yah, Azura butuh rumah untuk Azura, seharusnya ayah bisa jadi rumah untuk Azura, tapi sepertinya ayah sangat sangat membenci Azura ya?, Azura maklum kok kalau ayah benci Azura, karena Azura bunda, meninggal, iya kan karena itu?"
"Tapi yah, Azura bukan penyebab bunda meninggal yah." Gumam Azura matanya kembali memerah, lalu setelah ia bergumam mengenai Dirga yang membencinya, satu tetes air mata keluar dari mata sebelah kirinya, Azura kembali menangis, ia sedih dirinya selalu di jauhkan keluarganya."Sekali lagi, Azura minta maaf yah." Tak lama setelah mengatakan itu pintu pun terbuka.
Ceklek...
"AZURA! Keluar Lo!" Dean-kakak ke-tiga Azura.
"Kak Dean!." Seru Azura, setelah mendengar suara Dean Azura segera bangkit lalu dengan langkah yang sedikit tertatih Azura berjalan menuju Dean dengan wajah yang tampak bahagia karena Dean telah membukakan pintu untuknya."Terimakasih ya kak, udah bukakan pintu untuk Azura!."
"Di tendang lagi?." Tanya Dean kepada Azura, Dean tahu betul jika Azura sudah di gudang atau bahkan di toilet, Azura akan di tendang, di pukul, atau bahkan kepalanya dibenturkan.
"Iya kak, terimakasih ya udah bukain pintunya, Azura gak papa kok."
"Dih pede, siapa juga yang tanya keadaannya." Ujar Dean setelah itu ia berlalu dari hadapan Azura dengan muka datar.
"Kak Dean, maafin Azura juga kalo bikin kak Dean kesal."
Setelah mengatakan hal tersebut, Azura juga berlalu meninggalkan gudang dan segera menuju kamarnya, untuk berganti pakaian yang sudah kotor, karena ia tadi tetguling saat Dirga menendang dirinya."Huft, akhirnya udah dikamar lagi, kak Dean terimakasih ya, udah nyelametin Azura." Tidak habis-habisnya Azura selalu bergumam dan berterima kasih pada Dean.
•
Azura sudah selesai berganti baju ia kini berniat akan istirahat sebentar karena ia merasa sekujur tubuh ya sangat amat sakit, tetapi saat hendak berbaring ia di teriaki."AZURA! LO SEKARANG SIAPIN MAKANAN, CEPET!" Mahen atau Mahendra-kakak ke dua Azura biasanya ia sering di panggil aa oleh Azura, Mahen berteriak di depan pintu kamar Azura, sejujurnya mahen sangat membenci Azura sama seperti ayahnya, begitu juga dengan Dean.
"Iya aa, bentar lagi aku siapin makanannya." Azura menyaut ia mengatakan sebentar lagi ia akan menyajikan makanan sesuai kemauan Mahen.
"SEKARANG!" teriak mahen lengannya sembari memukul-mukuli pintu kamar Azura.
Azura membuka pintu kamarnya, hampir saja tangan mahen mengenai muka Azura, "i-iya aa Azura siapkan sekarang." Azura menundukkan pandangannya, ia melangkah keluar kamar dan menuju dapur untuk membuat makanan.
Saat di dapur...
"Ingat Azura, lo disini cuma babu, lo ngga di anggap disini, ini kesalahan lo sendiri." Daren-kakak ke empat Azura, Daren berbisik. Tidak, bukan berbisik lebih tepatnya mengintimidasi Azura dengan tatapannya.
"A-abang."
"Selesaikan sekarang! Gue laper." Aura yang dimiliki Daren sangat dingin, bagi Azura ia terlihat menakutkan.
•
Azura lanjut memasak, beberapa menu makanan telah selesai dan siap di hidangkan, Ayam goreng favorit Dirga-Ayah Azura. udang crispi ciri khas dari Mahen. Tumis kangkung sangat disukai oleh Dean, tiada hari tanpa tumis kangkung. Sambal matah sudah sangat menempel dengan Daren. Dan ada satu lagi capcay."SEMUANYA BISA TURUN MAKAN! MAKANAN SUDAH AZURA SIAPKAN." Teriak Azura agar para penghuni rumah datang dan menyantap makanan yang di hidangkan Azura.
Tok tok tok...
"Arthur pulang." Arthur-kakak pertama Azura. Azura memiliki empat saudara, dia yang terakhir, dan dia yang paling tidak dianggap sebagai keluarga.
"Mas udah pulang? Sini biar Azura bawakan tasnya ke kamar mas." Tawar Azura kepada Arthur. sungguh, kamu gadis yang baik, Azura.
"Tidak!" Tolak Arthur dirinya kini sangat lelah, dia tidak ingin di ganggu.
"Tapi mas kan pasti cape, mas duduk aja, makanan udah Azura siapin kok, biar tasnya Azura bawa ke kamar."
"TIDAK AZURA! BERAPA KALI HARUS GUE BILANG KE LO!."kini Arthur sudah naik darah akibat Azura yang selalu menyusahkan dirinya, padahal niat Azura membantu.
"Ya-yaudah mas makan aja, Azura udah masakin capcay kesukaan mas." Nada bicara Azura kini melemah, ia kembali menundukkan kepalanya dan berjalan meninggalkan Arthur, ia kembali menuju dapur guna memasak mie instan, untuk dirinya.
Azura sedari dulu tidak pernah diizinkan menyantap makanan satu meja dengan keluarganya sendiri, Azura disini tidak di anggap sama sekali. Poor Azura.
Setelah selesai memasak mie instan Azura berjalan membawa mie instan menuju kamarnya, saat ia melewati meja makan ia melihat Dirga, Arthur, Mahen, Dean, Daren sedang menyantap makanannya dengan lahap dan sesekali bercengkrama hangat, Azura tersenyum tulus, tetapi ia juga iri pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terimakasih atas segala lukanya.
Nouvelles"Tidak ada satupun yang ingin menerimaku, dengan raga yang bernyawa."-Azura.