Perihal : Mungkinkah?

90 12 0
                                    

Alin mengelap ujung bibirnya yang berdarah. Ia menatap ke arah cutter yang masih terdapat darah segar yang berada di tangannya dengan tatapan hampa. Pikirannya tidak berhenti mengeluarkan kata-kata untuk dirinya segera meninggalkan dunia ini. Alin dulu pernah mengalami fase ini, dan karena fase ini juga Alan dan Kinan jadi tahu masa lalu kelamnya.

"Kalaupun aku bunuh diri juga gak ada yang nungguin anak biadab sepertiku di atas" Kata Alin sambil menatap kosong langit indah malam yang ditaburi oleh bintang berkilauan dari jendela kamarnya yang terhubung balkon. Ia menoleh kearah kasur lain yang memiliki sprei berwarna hitam dan diletakkan di bagian sisi lainnya dari kamar ini. Itu kasur Alan, semenjak percobaan bunuh diri yang kedua, ayah memutuskan agar Alan dan Alin sekamar untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.

"ALIN!? BUKA PINTUNYA!? " Teriakan yang diiringi gedoran pada pintu kamarnya itu membuat Alin yakin bahwa teman sekamarnya itu telah keluar dari penjara khusus remaja.

Tidak ada jawaban dari sang pemilik kamar semakin membuat ketiganya panik. Alan yang terus menggedor pintu, Kinan yang sudah menangis si pojokan tangga, dan ayah yang menunggu dengan gelisah pelayan rumah membawakan kunci cadangan kamar.

Alan yang sudah sangat frustasi menunggu pelayan yang malah lupa naruh kunci cadangan dimana itu sudah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu didepannya. Persetan dengan pintu yang rusak, keselamatan adiknya yang terpenting.

BRUUKK!!??

Sekali dobrakan dari Alan sontak membuat pintu itu terbuka dengan engsel yang rusak cukup parah. Alan langsung memasuki kamar dan mencari keberadaan adiknya itu.

Kamar yang gelap dengan bau amis yang tersengat menjadi sambutan bagi ketiganya. Alan dengan sigap menyalakan sakelar lampu yang berada di dekat pintu. Namun pemandangan ini hampir membuat Kinan pingsan, darah yang berceceran di mana-mana dan beberapa pigura foto yang pecah dengan kaca yang berserakan di lantai. Alan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan untuk mencari Alin.

"Bang Alin di balkon! " Perkataan dari Kinan sontak membuat Alan menoleh kearah balkon yang tidak ditutup. Alan dengan tergesa-gesa membuka balkon diikuti oleh ayah dan Kinan.

Alin berdiri sendiri di pembatas balkon dengan jejak darah yang berada dibelakang nya.

"A-alin? "

Alin menoleh sedikit saat ayah memanggil namanya. Manik ruby yang menggelap nan hampa itu sontak membuat mereka bertiga terkejut.

"Hei, apa yang lo lakuin? Gue baru bebas dan begini lo nyambut gue? " Alan berusaha untuk menggenggam tangan Alin sebelum pikiran aneh lainnya terlintas di benaknya.

"Gausah mendekat kalau hanya kasihan"

Perkataan Alin sontak membuat Alan membatu ditempat. Apa yang ada di pikirannya sehingga ia berpikir bahwa ia mendekatinya hanya karena dasar kasihan?

"Jangan lakuin hal aneh lin, ayo duduk dulu baru kita bicarakan baik-baik" Bujuk Alan sembari berusaha untuk memegang tangan Alin yang masih mengucur darah.

"Bagaimana kalau kita bicara dibawah? Aku tahu jalan yang cepat supaya sampai bawah" Seringgai itu muncul di wajah Alin. Alin menunjuk kearah bawah balkon dimana taman besar nan luas kediaman Arganta. Alan yang mengerti tidak mengindahkan ucapannya, yang terpenting ia bisa menahannya.

Sebelum Alan bisa menggenggam tangan Alin, Alin meloncat dan berdiri di pagar pembatas. Sontak mendapat seruan dari Kinan dan ayah.

"APA YANG LO LAKUIN BEGO!? BALIK SINI!? " Seru Alan yang sudah diambang ketakutan. Ia takut ia akan kalap dan menyesal tidak sempat menyelamatkan Alin. Sementara Alin hanya menutup kedua telinganya sembari berpura-pura meringis kesakitan.

"Jangan berteriak bang, lo tahu kan gue gak bisa dibentak"

Alan, Kinan, dan ayah semakin dibuat terkejut saat beberapa tetes darah mengalir begitu saja dari kedua telinga Alin. Ini memang pertama kalinya Alin dibentak di kediaman Arganta setelah setahun tinggal bersama, dan ini pertama kalinya melihat Alin yang bereaksi seperti itu saat dibentak.

"Ah gue memang nyusahin ya? Lihat kekacauan yang gue buat. Gue minta tolong beresin ya bang sebelum lo tidur, biar nyaman tidurnya" Ucap Alin dengan senyuman, bukan senyuman putus asa, tapi senyuman yang tulus, sangat tulus.

"Omong kosong apa lo lin? Ayo balik, gue akan marahin lo kalau lo gak bantuin gue beresin kekacauan yang lo buat" Seru Alan tertahan, tetesan air mata sudah meluncur begitu saja dari ujung matanya, melihat berapa rapuhnya adiknya ini.

"Gue mau turun dulu bentar, nanti gue balik"

"ALINN?!!? "

GREEP

Alin menjatuhkan dirinya dari pagar pembatas balkon lantai tiga. Alan dengan sigap memegang lengan Alin guna menahan jatuhnya badannya.

"Apa yang lo lakuin bang? Tangannya gue masih sakit, nanti lo juga ikut jatuh" Alin berseru kepada Alan yang masih bersikeras untuk menahan tangannya. Ia menatap kebawah dimana mobil ayahnya dan mobil abangnya berada. Ia kembali mendongak dan mendapati ayah dan Kinan juga berada di pembatas balkon.

"Lo harus bertahan?! Lo boleh sakit, isi kepala lo boleh berisik, nafsu makan lo boleh hilang. Tapi, lo harus tetap hidup. Jadi, jangan mati " Alan berseru susah payah sambil berusaha menarik tubuh Alin.

Alin tersenyum saat mendongak yang berhasil membuat Alan kebingungan. Tiba-tiba ia melepaskan pegangan Alan dengan mencubit permukaan kulit tangan Alan. Ia menggumamkan kata-kata terakhirnya saat Alan, Kinan, dan ayah menyerukan namanya.

"Terima kasih"

***

"Kok gue ngerasa gak enak ya kak? " Gempa memegang kedua tangannya yang entak kenapa terasa perih.

"Gue juga gak enak ditelinga" Ucapan Taufan sambil mengusap kedua telinganya semakin membuat saudaranya yang lain kebingungan.

Para Elemental baru saja kembali saat Gempa sudah sembuh dan diperbolehkan untuk pulang. Tapi entah kenapa malah tertua kedua dan ketiga itu mengeluh sakit, padahal badan mereka sedang prima.

"Perasaan baru sembuh kak, kok ngerasa sakit? Kan kakak gak ngapa-ngapain" Ucap Blaze saat melihat keduanya masih setia mengusap kedua tangan dan telinga mereka.

"Gatau ya, rasanya itu kek perih terus kek ada cairan yang keluar. Padahal gak ada apa-apa? " Ucapan Gempa semakin membuat Ice berpikir berat.

"Kakak pernah kaya gini gak? Soalnya gue juga pernah kaya gitu saat kak Thorn dibully itu, gue juga ngerasain sakit patah tulangnya kak Thorn" Ucapan solar sontak membuat mereka terkejut.

"Pe-pernah, itu waktu kak Taufan hampir ketabrak.. Terus bang.. Hali yang nyelamatin sampai kepalanya bocor" Ucapan Gempa semakin membuat mereka merasa gelisah. Bener dugaan Ice, ia merasa tidak beres semenjak menjemput Gempa pulang.

"K-kalau kalian berdua yang ngerasain, berarti terjadi sesuatu sama b-bang Hali? " Perkataan dari Solar sontak membuat mereka panik setengah mati.

Ice segera mengambil handphone nya untuk mengubungi kakak sulungnya itu, Lima panggilan tidak dijawab. Ia mencoba untuk mengirim pesan kepada kakaknya, tapi sejauh ini hanya centang satu.

"Sumpah bang ini gak lucu" Gumam Ice frustasi. Ia memandang laman perbincangan antara dirinya dengan sang sulung. Empat puluh lima pesan tidak ada yang terkirim.

"Semoga bang Hali gak kenapa-kenapa"

Perihal MerelakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang