Alin membuka matanya secara perlahan, yang pertama masuk adalah cahaya lampu yang menyilaukan mata, sehingga Alin harus mengerjap beberapa saat agar penglihatannya kembali normal. Ia berusaha untuk duduk walaupun kedua tangannya yang digunakan sebagai tumpuan sakit bukan main, kedua tangannya dilapisi oleh perban dan ditangan kirinya terdapat infus.
"Bang Alin, dah sadar? " Kinan masuk ke ruang inap Alin setelah dari kantin untuk membeli beberapa cemilan untuk dirinya dan Alin ketika abangnya itu udah sadar.
"Jangan paksain duduk dulu bang, badan abang masih syok" Kata Kinan sambil membantu Alin untuk bersandar pada kepala kasur yang dilapisi bantal oleh Kinan supaya empuk dan nyaman.
"Abang udah enakan? Mau minum dulu? " Tanya Kinan dengan lembut yang dibalas gelengan oleh sang empu. Ia tidak merasa haus, tapi merasa hampa.
Ingatannya mengulang kejadian tempo hari dimana ia berusaha untuk bunuh diri, sepertinya rencananya gagal lagi. Ia menatap kearah Kinan yang dengan telaten mengeluarkan beberapa buah dari kantung plastik yang dia bawa untuk dikupas.
"Kemana Alan sama ayah? " Tanya Alin tiba-tiba.
"Ayah masih ngurus masalahnya bang Alan, katanya bang Alan dibebaskan karena memang unsur pertahanan diri" Ujar Kinan tanpa menoleh dari buah apel yang sedang ia kupas di tangannya.
"Abang gak usah mikirin itu, nanti ayah sama bang Alan kesini habis ngurusin itu. Bang Alin fokus untuk istirahat aja" Kata Kinan sambil menyodorkan sepiring penuh irisan apel yang masih segar.
Alin mengambilnya dan kembali melamun, memikirkan banyak hal. Mungkin ia akan melihat raut wajah kecewa Alan saat mereka berdua datang nanti karena telah mengingkari janji yang dulu mereka berdua buat.
"Lin janji sama gue lu gak bakal ngelakuin hal bodoh kaya gini lagi" Ucap Alan saat gilirannya untuk menjaga Alin di rumah sakit.
Saat itu Alin mencoba bunuh diri dengan menyayat pembuluh nadi di tangannya, ia sempat pendarahan tapi Alan dengan sigap mengantarkan dirinya ke rumah sakit sehingga berhasil diselamatkan.
"Lu satu-satunya yang paham sama gue lin. Ayah terlalu sibuk walaupun tetap perhatian sehingga gue gak tega nambah beban ayah, Kinan gak terlalu paham sama masalah gue. Hanya lu yang paham lin, nanti kalau lu gak ada bayangin betapa sakitnya gue lin"
Untuk pertama kalinya, Alin melihat sisi rapuh Alan. Alan dikenal dengan cowok dingin yang tegar, hampir tak pernah ia menangis di depan keluarganya, Alan juga satu-satunya yang tidak pernah menceritakan tentang masalah sosialnya kepada siapapun. Ia hanya memendamnya sendiri. Alan menangis sambil memalingkan wajahnya kearah lain agar Alin tidak melihat wajahnya yang menangis. Namun percuma, ia sudah melihat tetesan air mata Alan dari ujung matanya.
"Iya bang, gue janji deh gak bakal coba bunuh diri lagi" Ucap Alin yang membuat Alan menoleh kepada dirinya. Alin menyodorkan sehelai tisu yang langsung dibalas dengan pelukan oleh Alan. Alin hanya bisa pasrah pundaknya basah akibat air mata sang kakak. Setidaknya, ini membuat Alan menjadi lebih tenang.
"Alin, lo udah sadar!? " Alan langsung mendobrak pintu ruang inap Alin yang membuat dua insan yang berada di dalamnya terkejut, bahkan Alin hampir tersedak irisan buah apel yang sedang digenggamnya.
"Alan, ini dirumah sakit, jaga suaramu" Suara lembut dari ayah yang baru datang membuat Alan tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal.
"Alin gimana keadaanmu? " Tanya ayah sambil menyerahkan sekantung plastik berisi makanan dan minuman buat makan siang ketiganya. Ayah duduk di sisi ranjang yang lainnya, berlawanan arah dengan Kinan. Sementara, Alan berada di ujung ranjang sambil bersedekap dada.
"Sudah lebih baik dari sebelumnya sih" Kata Alin sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia memalingkan pandangannya kearah lain agar ia tidak semakin merasa bersalah atas niatnya yang ingin meninggalkan keluarganya yang begitu mengkhawatirkan dirinya.
"Alin... Ayah mohon, kalau Alin punya cerita, jangan dipendam. Cerita aja, nanti kita dengarkan kok"
Alin sontak membeku ditempat saat mendengar penuturan dari ayahnya. Ia memejamkan matanya, berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak meluncur. Ia melirik kearah Alan yang masih setia bersedekap dada.
"Istirahatlah Alin, ayah mau kerja dulu. Nanti sore ayah kesini bawa makan malam" Ayah berdiri dari tempat duduknya sembari berjalan keluar setelah menyerahkan seamplop coklat yang agak tebal berisi uang.
"Ini untuk uang jajan kalian ya, ayah mau sekalian pamit ke kota sebelah, urusan pekerjaan. Alin maaf ayah gak bisa nemani kamu sampai keluar rumah sakit ya" Ucap ayah sambil menghampiri Alin dan mengelus kepalanya dengan senyuman yang sungguh menenangkan.
"Maaf ayah... Alin belum bisa jujur sekarang" Ucap Alin yang sangat merasa bersalah karena telah membenani ayahnya ini.
"Gak papa, yang penting Alin jangan pernah mencoba mengakhiri hidupnya Alin sendiri ya, masih banyak yang sayang sama Alin tanpa Alin sadari sendiri"
***
Setelah kepergian ayah, Kinan izin balik untuk mengerjakan kerja kelompok bersama teman kuliahnya. Tersisa Alan dan Alin yang berada di ruangan yang diselimuti keheningan tersebut. Alin sibuk memandang jendela dengan pisang goreng dari ayah sebagai cemilan, sedangkan Alan hanya duduk diam di sofa dengan laptop di pangkuannya, matanya memandang kearah Alin dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Alin"
"Apa? " Alin menoleh saat Alan memanggil namanya dari sofa.
"Kenapa waktu itu, habis gue bentak telinga lo berdarah? " Tanya Alan dengan tatapan yang menusuk, seolah menuntut jawaban yang mengandung kebenaran dari lawan bicaranya itu.
Alin memalingkan wajahnya sembari tangannya yang menggenggam erat setoples pisang goreng di hadapannya. Setelah menghela nafas cukup berat, ia memulai cerita tanpa menoleh sedikitpun kepada Alan.
"Dulu gue sering banget dibentak ama nyokap. Tau sendiri lah suara emak itu memang cempreng banget, mana gue asupan setiap hari itu omelan nyokap. Kadang kalau gue emang udah bandel banget di mata nyokap, nyokap gak segan-segan mukul telinga gue make vas bunga sampai pecah. Katanya, biar telinga gue itu bener kalau diberi amanah" Cerita dari Alin sontak membuat Alan menutup laptopnya sebelum kemudian menaruhnya di meja dan beranjak menghampiri Alin.
"Terus telinga gue pernah berdarah saat diomelin nyokap, nyokap jelas gak peduli dan ninggalin gue gitu aja. Dengan berbekal duit tabungan yang gue sisihin, gue periksa ke dokter. Katanya, gendang telinga gue pecah. Saat gue udah kek orang tuli beberapa minggu, akhirnya gendang telinga gue sembuh, tapi ya jadi lebih sensitif gitu terhadap nada tinggi. Berhubung gue juga trauma sama bentakan, jadi telinga gue akan berdarah saat gue dibentak" Cerita Alin dengan datar.
Alan dengan tiba-tiba memegang kedua tangan Alin sebelum menyatukan kedua telapak tangannya. Ia menatap Alin dengan tatapan yang sulit diartikan sehingga Alin mengernyitkan alisnya bingung.
"Maaf, waktu itu gue ngebentak lo. Gue udah takut banget kehilangan lo. Lo adek gue, gue juga harus lindungin lo"
WARNING!!! NOT A SHIP CONTENT!!! ONLY SIBLINGS CONTENT!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Merelakan
Randompernah mendengar tentang merelakan orang yang pergi dan kembali dengan melupakan semua yang sudah kita lewati? biar kuberi tahu. itu adalah hal yang lebih menyakitkan ketimbang harus kehilangan diri sendiri. Halilintar Aksara Airlangga, apa yang a...