bab 2

363 108 2
                                    


"Aku akan pulang nanti dengan penerbangan malam."

"Kau harusnya di sini dari sehari lalu. Aku sudah berusaha meluangkan waktu padahal seharusnya aku bisa ke New York untuk membicarakan masalah pembuatan pabrik Tequila."

Oh inilah Arman, pribadi yang senang memikirkan dirinya sendiri. Memang dia saja yang punya kegiatan. Preema juga punya kesibukan.

"Jangan menggerutu. Kau punya jadwal aku juga."

"Itu bukan jadwal. Kau hanya membuang waktumu untuk kunjungan yang tidak penting. Harusnya kau cukup mengiriminya uang dan kado."

Preema meremas tangannya. Sampai sekarang Arman tak mengerti bagaimana pentingnya Umah baginya. "Kau tidak berhak mengaturku untuk memilih mana yang prioritas mana yang bukan. Aku di Indonesia, karena aku mau dan Umah adalah orang yang penting bagiku. Harusnya kau bisa mengerti, Arman."

"Maafkan aku. Ku kira bisa langsung bertemu denganmu begitu pulang."

Preema menarik nafas untuk menambah setok kesabaran. "Aku bukan pengangguran sehingga akan selalu ada untukmu."

"Kau marah, Preema?"

"Tidak. Aku hanya lelah. Kita akan bertemu besok jadi sudah ya? Bye."

Arman bingung karena baru kali ini Preema menutup panggilannya terlebih dulu. Wanita itu sepertinya marah karena kemarin panggilannya Arman abaikan tapi seingatnya bagaimana pun sifatnya yang egois dan susah mengontrol emosi, Preema akan menerimanya. Mungkin benar Preema lelah karena pekerjaan. Arman tak berharap Preema lelah dengan hubungan mereka.

Preema menutup panggilannya lalu berlari lagi. Ia menikmati joging pagi di taman kota yang udaranya masih sejuk. Arman tidak bisa mengabaikannya lalu menuntut pelayanan ekstra. Preema yang selama ini bodoh, tidak merasakan kalau Arman tak benar tulus mencintainya. Lelaki itu hanya ingin diperhatikan, diberi kasih sayang tanpa mau membalas.

Preema berhenti mengatur nafas. Apa sebaiknya ia memutuskan hubungannya dengan Arman sebelum semuanya berjalan rumit. Apa setelah putus, ia bisa mendapatkan pria yang baik. Preema takut tidak diterima dan tidak disayangi. Pria di luaran sana banyak yang kaya dan tampan namun apa bisa pria itu mengerti pekerjaan dan latar belakangnya dengan baik. Kegundahannya terjawab ketika melihat seorang pria yang ia kenal sedang menuntun sepeda kecil. Preema berhenti melangkah, berdiri tegak sebagai penonton yang menikmati pemandangan Abra yang mengajari Pelita naik sepeda.

"Pak Abra?"

"Hai.." walau menyahutnya tapi Abra tak melepas pegangannya pada bagian belakang sedel sepeda Pelita.

"Pah, Pelita udah bisa. Sekarang bisa dilepas."

"Jangan Pelita. Kamu belum lancar naik sepedanya nanti kamu jatuh."

"Bukannya jatuh merupakan bagian dari pembelajaran? Kalau tidak terluka mana tahu kita sikap hati-hati."

Abra tersenyum, ia menerima nasehat yang Preema ucap tapi rasanya ia tak tega melihat anaknya jatuh dan terluka.

"Iya Papah."

Walau agak berat akhirnya Abra melepas Pelita. Yang dilepas, sepedanya langsung oleng tapi untungnya Pelita cerdas. Anak itu memijak tanah tepat waktu sehingga tak sampai jatuh.

"Benar kan yang Papah bilang. Harusnya tadi roda tambahannya jangan dilepas. Belum waktunya bagi kamu menggunakan sepeda roda dua."

Pelita cemberut mendengar kata-kata ayahnya. Gadis itu merasa bisa tapi ayahnya belum dapat mempercayainya.

"Aku ingin segera bisa main sepeda seperti anak lain. Usiaku sudah enam tapi aku masih menggunakan sepeda roda empat. Aku malu Papah."

Preema tahu kadang harga diri anak gadis lebih penting dibanding segalanya. Hal yang harusnya Ibu Pelita sadari, Abra sebagai seorang pria, mana tahu hal itu.

usai sebelum di mulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang