14. Perizinan Hati

1.6K 162 25
                                    

📝 : mind to klick vote before you start to read this part? thankyou! ♡

🏠

• Enjoy the story! •

🏠

Angkasa masih mendekap erat gulita. Masih direngkuhnya pula sang rembulan dan bintang-bintang yang bertabur di atas sana. Suhu udara masih rendah, senyap pun masih dapat dikecap. Menurut jam dinding, ini baru menunjukkan pukul 04.30 WIB, masih sangat pagi untuk beraktivitas.

Dalam sepi yang melanda, Halilintar masih terjaga di kamarnya. Gulana menyertainya begadang dengan kurang ajarnya. Desis napas acap kali keluar tatkala isi otaknya masih sibuk memutar ulang kejadian yang ia lihat tadi malam.

Taufan dan Solar, saling bersandar dan berpegang tangan.

"Solar sialan," umpatnya. Setelah itu, ia bergrming lagi dalam waktu yang lama.

Atma kembali masuk dalam sadarnya saat Halilintar merasakan hangat pada sebelah pipinya yang bersinggungan langsung dengan jendela. Ah, seberapa lama ia melamun? Laki-laki itu bahkan tak menyadari kilau surya mulai bersemi.

Ia menilik jam dinding, ternyata sudah nyaris pukul 06.00, itu artinya, Halilintar tidak terlelap semalam utuh. Meskipun begitu, matanya belum juga memberat. Ia bahkan masih dapat melihat dengan sangat jelas tanpa rasa kantuk yang mendera.

"Huh, cari bubur ayam dulu, deh. Habis makan baru tidur," monolognya.

Selepas itu, ia bergegas bangkit dan mengambil jaket hitam yang menggantung di dinding. Saat membuka pintu kamar, ia dapat melihat Taufan yang juga keluar.

"Hai, Halilintar! Mau ke mana?" Lelaki yang dibalut syal berwarna biru itu bertanya. Halilintar berjengit saat suara nyaring itu mengetuk paksa rungunya hingga berdengung.

"Kecilkan suaramu, Fan. Ini masih pagi banget, yang lain masih tidur," tegur Halilintar.

Mata cantik anak biru itu membelalak sebentar dibersamai bibirnya yang membulat sempurna—tanda ia terkejut. "Ups! Maaf, aku lupa ...."

Halilintar menggeleng pelan dan mengalihkan matanya ke arah lain. Anak itu ... memang terlalu manis untuk dipandanginya.

"Uhm, jadi ... kamu mau ke mana pagi-pagi gini, Li?" Sekali lagi, Taufan bertanya.

"Mau cari bubur ayam buat menyarap. Ada apa? Mau titip?" Halilintar bertanya balik.

Taufan tampak termangu, kemudian menjawab, "Nggak mau nitip, tapi kalau mau ikut kamu makan, boleh nggak?"

Halilintar turut diam sebentar. Diamnya anak itu membuat Taufan tersenyum canggung. "Nggak boleh, ya?"

Halilintar gelagapan saat mendapati gurat sedih dari paras indah itu. Tanpa pengantar apa pun, ia menjawab, "Boleh, Fan."

Kekehan lucu dari sang angin menyambut pertanyaan Halilintar. "Okay! Let's go!" ujarnya kemudian.

- 🏠 -

Kaki-kaki kecil Taufan berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti langkah besar Halilintar. Ya, mereka memilih jalan kaki untuk memukul mundur sang jarak.

"Ish, Hali! Tungguin, dong!" Taufan mengomel. Ada besit niatan untuk melempar punggung tangguh itu dengan batu, walau akhirnya ia urungkan.

Halilintar berhenti, kemudian menoleh ke belakang. Ada pias senyuman pada wajahnya yang tampan. Taufan juga dapat melihat sapuan merah tipis pada pipi sang petir, membuatnya terlihat bak idola yang bersinar dengan matahari sebagai lampu sorotnya.

Taufan terkesima.

"Maaf, ya? Langkah kaki saya kayaknya terlalu besar buat kamu yang mungil ini ...."

Grep!

Lelaki biru itu sedikit tersentak saat tangan Halilintar melingkupi miliknya, menggeggamnya dengan pas hingga Taufan terlena. Belum sempat Taufan bicara, Halilintar dengan cepat menariknya—memintanya untuk kembali berjalan.

"Uhm, Hali?" cicit Taufan.

"Dulu, kamu tiba-tiba genggam tangan saya. Berarti saya boleh lakuin hal yang sama juga, 'kan?" ucap pemuda merah itu.

Taufan menatap Halilintar yang saat ini sudah memandang ke depan. Gurat senyum itu kembali pada wajah Halilintar.

"Hali, Hali ...."

Insan yang dipanggil menoleh. "Iya, Fan?"

"Semoga Hali banyak bahagia, ya? Hali ganteng banget kalau lagi senang sampai senyum gitu ...," ucap Taufan. "Kalau Hali sedih, jangan sungkan cerita ke aku, okay? Mulai sekarang, aku mau jaga senyumnya Hali!" lanjutnya.

Tuhan ... Halilintar bersumpah, ia tidak akan lelah untuk jatuh cinta berkali-kali pada seseorang yang ada di sebelahnya ini.

- 🏠 -

"Kamu pacaran sama Solar?"

Celetukan Halilintar membuat Taufan nyaris menyemburkan bubur ayam yang ada di mulutnya. "Itu mirip pertanyaan aku waktu pertama kali kita bicara, 'kan? Kamu penasaran, ya?"

"Jawab aja, sih," ujar Halilintar.

Taufan tertawa riang. "Hahaha! Uhm, enggak. Aku nggak pacaran sama Solar ...."

"Tapi kalian kelihatan dekat banget, kenapa?" Belum ada sepersekian detik, Halilintar kembali mengajukan pertanyaan lanjutan.

Taufan berpikir sebentar sebelum akhirnya berujar, "Karena Solar orang baik. Ya ... walau bajingan dikit. Dia juga selalu izin tiap mau ngelakuin sesuatu yang berhubungan sama aku. Kayak kemarin, dia izin dulu buat gandeng tangan aku."

"Hm?" Halilintar batal menyendokkan bubur ke mulutnya. Entahlah, kepalanya mendadak lebih panas daripada bubur yang tersaji di depannya ini. "Jadi, kalau mau ngelakuin sesuatu yang berkaitan sama kamu, harus izin dulu?"

"Enggak juga, sih ... tapi kalau izin dulu, aku bakal menghargai banget. Memangnya kenapa?" tanya Taufan. Jujur saja, kepalanya penuh dengan potensi alasan dari arah pembicaraannya dengan Halilintar.

Selepas mendengar jawaban Taufan, Halilintar terdiam sejenak. "Kalau gitu, saya izin mendekati kamu, boleh nggak?"

🏠

• To be continue! •

🏠

selamat tahun baru semuanya! selamat satu tahun juga untuk buku ini, hehehe. aku minta maaf karena september lalu aku gagal menepati janji untuk update dan baru bisa post sekarang .... ಥ_ಥ

semoga kalian suka dengan chapter comeback ini, maaf kalau kurang memuaskan. (。•́︿•̀。)

Indekos Elemen [ BoBoiBoy Taufan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang