Mataku sulit terbuka, bagaikan direkati lem merek China yang sering kupakai untuk memperbaiki sepatu kuliah. Namun telinga yang masih terang benderang ini mendengar kasak-kusuk tidak jelas.
Banyak sekali orang di sekitarku. Melalui suara yang terdengar, sepertinya ada sekitar tujuh sampai delapan orang. Didominasi oleh perempuan, lelaki hanya beberapa.
Aku yakin sedang berada di rumah sakit. Terakhir kali mengingat sesuatu, aku merasa sudah hancur berkeping-keping dihantam truk besar di jalan dekat kampus
"Nona? Nona Giselle? Bisakah kau membuka matamu sekarang?" tanya seseorang.
Mereka memanggil Giselle. Mungkin pasien di sebelah. Suara-suara berisik itu kurasa para suster yang mengekori dokter memeriksa pasien.
Sial, hidupku selalu sial. Bahagia seakan enggan bersahabat. Aku nyaris mati. Pacarku, Frans, mendorongku karena menampar selingkuhannya hingga bibirnya sobek.
Memori terakhir memberiku sebuah kesadaran, bahwa Frans tak pernah mencintaiku. Dia lebih memilih melindungi pandangan mata pacar barunya yang syok melihatku terkapar di jalanan.
"Nona Giselle? Apa kau bisa mendengar suaraku? Kalau bisa anggukkan kepalamu."
Sebentar, jika memang lelaki itu berbicara dengan pasien di sebelah, suaranya terdengar sangat dekat dengan telingaku. Akan tetapi, tak mungkin juga dia memanggilku Giselle.
"Nona!"
Kali ini suara perempuan. Tangannya menyentuh tanganku dengan sangat hati-hati. Tidak salah lagi. Giselle yang mereka maksud bukan orang lain, tapi aku.
"Saya mohon, bukalah mata Anda. Hidup saya akan berakhir jika Anda tidak selamat. Jangan hanya bernapas, Nona! Bangunlah!"
Siapa perempuan kurang ajar ini? Berani sekali dia memerintah dengan suara cemprengnya.
Agar bisa menamparnya, aku harus bangun terlebih dahulu. Namun saat bergerak sedikit, seluruh tubuhku sakit. Terutama bagian dada kiri. Ah, sepertinya patah tulang.
Maklum, truk besar itu menabrakku dengan kecepatan tinggi. Sopirnya gila sekali. Dia kira jalan itu milik nenek moyang keluarganya. Untung saja aku tidak jadi mati.
Setidaknya, setelah ini aku akan menunjukkan pada Frans bahwa aku bisa hidup tanpanya. Bela saja selingkuhan sialan itu. Sebentar lagi, Frans akan menerima karma.
Baiklah, sekarang bukan saatnya mengumpat. Pertama, aku harus membuka mata. Pelan, tapi pasti. Silau sedikit tak apa. Aku pasti bisa.
"Nona!" Perempuan tadi berteriak bahagia dan menangis di saat bersamaan. "Ya Tuhan, terima kasih sudah menyelamatkan nonaku yang malang."
Hal pertama yang aku tangkap adalah orang-orang aneh berpakaian abad pertengahan. Para perempuan mengenakan gaun ala pelayan, sedangkan laki-lakinya berbaju kerah sampai menutupi leher.
Tuhan, sepertinya tidak ada gambaran surga seperti ini. Orang-orangnya sangat kuno. Apa pakaian di surga memang tidak modern?
"Nona, syukurlah. Saya bahagia sekali Nona kembali bernapas dan membuka mata," kata perempuan yang memiliki suara cempreng.
Aku menoleh pelan-pelan, mengamatinya. Mata bulat besar berwarna cokelat terang memancarkan ketulusan. Rambut disanggul dengan poni menutupi dahi, terkesan rapi sekaligus acak-acakan juga. Ah, begitulah pokoknya.
Pakaiannya menunjukkan posisinya, pelayan. Dia berdiri agak jauh dari ranjang. Di belakangnya berbaris perempuan berpakaian sama sepertinya. Akan tetapi, mereka tidak mengangkat kepala. Hanya menunduk saja.
"Nona Giselle ... "
"Leila, hentikan! Ocehanmu membuat Nona tidak nyaman," tegur lelaki yang berdiri di dekat meja nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And The Bad Husband [On Going]
FantasíaSetelah mati tenggelam, aku terbangun di tubuh seorang wanita lemah lembut bernama Giselle Albern. Wanita yang hidupnya dihabiskan dalam kebodohan karena menuruti apa kata suaminya yang kejam, Dariel Edmont, putra pertama Count Jarrod Edmont. Apakah...