34. Perang

147 30 8
                                    

Alih-alih menjawab, pria itu membuang muka. Jelas sekali badai berkecamuk di matanya. Hanya dengan melihat itu saja aku langsung tahu. Jawaban yang kuinginkan telah ketemu.

"Ternyata itu kau, Dariel. Kau membunuh orang tuaku, ya? Bagus. Wah, ini sangat mengejutkan." Aku menengadah dan tertawa, air menggenang di pelupuk mata.

"Kenapa?" tanyaku tak paham. "kenapa kau melakukannya? Apa salah mereka? Apa karena mereka mengirimku ke mari? Seberat itukah kehadiranku di hidup kalian sampai tega menghabisi nyawa mereka? Tanpa sepengatahuan diriku, dan tanpa membiarkan orang tuaku mengirimkan selembar surat perpisahan."

"Setiap perbuatan pasti ada alasan," jawab Dariel lesu.

"Ya, benar! Benar sekali! Tapi apa pun alasannya kau tidak berhak mengirim orang tuaku pada kematian!" sentakku.

"Aku mengaku salah. Kau boleh menghukum diriku, tapi dengarlah penjelasanku terlebih dahulu," pinta pria itu.

"Pembunuh," desisku sambil menatap Dariel tajam. "sekali pembunuh, tetap pembunuh."

"Maaf, Giselle."

Aku tertawa sumbang. "Maaf kau bilang? Apa itu bisa menghidupkan mereka? Ah, betapa menyenangkannya hidupmu saat melihatku bingung dan bertanya-tanya mengapa mereka tak datang menjenguk diriku yang hampir mati karena tenggelam. Sepucuk surat pun tak datang, padahal orang tuaku adalah orang yang penuh kasih sayang. Bagaimana? Puas menertawakan diriku?"

Kepala Dariel menggeleng beberapa kali. Melawan semua yang kukatakan. Persetan, aku tidak percaya pada mereka semua.

"Kalau kau tidak menginginkan diriku, maka lepas saja dan kembalikan aku ke Adanac. Kalau kau merasa aku membawa masalah dalam hidupmu, kau bisa mengusirku. Kalau kau merasa aku tidak berguna dan tidak layak untuk dicintai, maka biarkan aku pergi. Kenapa harus mengambil nyawa mereka karena kebencianmu itu?" Aku kembali mencerca Dariel dengan pertanyaan.

Joana tertawa kecil. "Haruskah kau melakukannya, Giselle? Mengiba seperti seorang pengemis hanya karena masalah sepele?"

"Masalah sepele? Ayah dan ibu mati dibunuh suamiku, apa itu masalah sepele? Apa kau tidak pernah merasa kehilangan, Joana?" Aku terpana.

"Tentu saja aku tidak tahu rasanya kehilangan orang tua. Mengenal mereka saja tidak," sahutnya.

"Benar, kau dipungut dari jalanan dan tak tahu apa-apa soal kehilangan. Namun bukankah lebih baik kau tutup mulutmu daripada banyak bicara?" kataku tajam.

Joana terperanjat. "Kau ... kau mengataiku?"

"Ya, aku mengatakan hal itu dengan jelas. Apa kupingmu bermasalah? Apa perlu kuulangi?"

"Wah, aku sangat terkejut mendengarnya. Kau menghinaku karena datang dari keluarga bangsawan?"

"Setidaknya aku tidak merebut suami orang dan menjilat penguasa untuk hidup nyaman!"

"Tapi Dariel mencintaiku dan keluarga ini menerima diriku dengan hangat!"

"Lalu apa masalahnya? Apa itu akan mengubah fakta bahwa kau menempel seperti benalu sambil berupaya merebut suami orang? Apa itu akan mengubah fakta bahwa orang tuaku mati di tangan orang yang kau cintai itu?"

"Percuma kau banyak bicara, Giselle. Semuanya telah terjadi. Bukankah lebih baik kau merelakan mereka dan berdoa saja setiap hari?"

Kuembuskan napas sekencang mungkin untuk melegakan dada yang sesak.  Inilah momen topeng Joana terbuka. Saat aku mengarahkan pandangan kepada para tamu, mereka terlihat syok sekali. Yah, itu lebih baik.

Kupegangi kepala yang berdenyut kencang. "Kepalaku benar-benar akan meledak sekarang. Pantas saja kau diterima di keluarga ini. Busuknya sama. Hidungku sampai mati rasa karena tak sanggup mencium baunya."

Me And My Bad Husband [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang