26. Memilih Pergi

445 50 5
                                    

Kami sampai di ibukota dan berhasil menemui pangeran kedua, sosok yang digadang-gadang akan menduduki tahta putra mahkota. Aku sudah memberitahu kesulitannya. Pangeran berjanji akan membantu dana dan menyelidiki soal orang tuaku.

Tak kusangka urusannya semudah itu. Namun setelah mengingat kembali, ternyata selama hidupnya, Giselle asli dan pangeran cukup akrab. Mereka satu akademi, lalu bersahabat sejak saat itu. Makanya aku berani minta tolong untuk hal pribadi.

Setelah itu, aku pulang ke mansion naga untuk mengambil sisa perhiasan, kemudian meminta Pashenka menjualnya ke ibukota. Aku ingin segera kembali ke Nixam. Barulah setelah itu menghadap Duke dan Duchess Edmont.

"Ada apa dengan pakaianmu?" Duchess Edmont melihat dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Pakaian itu bukan untuk wanita bangsawan, Giselle. Itu pakaian lelaki."

"Ibu saya tidak pernah mengatur soal pakaian selagi saya nyaman," balasku sambil tersenyum manis.

"Lalu apa yang membawamu ke mari?" Duke Edmont tampak penasaran. "Kau bahkan tidak menanyakan kabar kami."

"Itu karena saya selalu mendoakan Anda berdua baik-baik saja. Dan kali ini, Tuan Duke harus membantu saya," ujarku dengan bahasa formal.

Aku belum memberitahukan pasal bantuan pangeran kedua. Biar saja mereka tahu dari anaknya. Namun, kurasa sebentar lagi surat dari istana akan tiba. Pasti Duke Edmont akan ditegur.

"Anda bisa, kan?" tanyaku memastikan.

Duke Edmont termenung sejenak. "Begini, Giselle. Aku memiliki dana dan bisa saja membantumu, tapi Joana ingin mendirikan klub menari. Sebagai orang yang telah dianggap sebagai ayahnya, tentu aku harus menyokong dari segi dana."

"Klub menari?" Aku terkekeh. "Anda lebih mementingkan klub menari dibandingkan saya yang sedang membantu mengatasi masalah di daerah kekuasaan Anda? Saya yang menantu Anda ini?"

"Jangan tersinggung, Giselle." Duchess menyela. "Kami telah menganggap Joana layaknya putri kami sendiri. Bagaimana mungkin kami menolak mendukung anak kami?"

"Benar. Anda benar, Nyonya Duchess," kataku sembari mengangguk. "Sebenarnya, saya sudah menduga Anda berdua tetap tidak akan membantu saya, apa pun alasannya. Saya hanya menantu tidak berguna yang tidak dianggap."

"Bukan begitu, Giselle," sanggah Duchess Edmont.

"Alasan saya tetap datang menghadap Anda berdua karena masih memiliki sedikit harapan, tapi ternyata sia-sia."

Tanpa menunggu mereka menjawab, aku bangkit dan merapikan pakaianku. Setelah membungkuk sekali, aku memberanikan diri menatap keduanya setajam mungkin.

"Mulai hari ini, saya tidak akan mengharapkan apa pun lagi. Meski yang saya bantu adalah daerah orang lain, saya akan tetap melakukannya karena hati nurani. Sebaiknya, kita tidak terlalu dekat. Kalau tidak, saya akan semakin memperbesar harapan kosong ini. Padahal kenyataannya, saya tidak dianggap sama sekali. Saya permisi."

Dengan mantap, aku melangkahkan kaki. Keputusanku sudah bulat. Setelah misiku tercapai, aku akan mengurus dokumen perceraian. Berada di sini membuatku muak.

"Bukankah sekarang kau menganggap kami orang lain?" ujar Duke Edmont.

Aku berhenti. "Bukankah saya hanya membalas perbuatan Anda berdua yang terlebih dahulu berlaku tidak adil pada saya?"

"Kami mertuamu!" seru Duchess Edmont.

"Lalu membiarkan mertua saya semena-mena pada diri saya?"

Pengawal membukakan pintu. Aku buru-buru keluar sebelum menangis di situ. Hatiku sakit sekali. Entah bagaimana Giselle asli bertahan dengan sifat lemahnya. Dia benar-benar bodoh.

Me And My Bad Husband [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang