Pada Minggu malam seperti kebanyakan remaja lain, aku dan temanku pergi berkumpul. Kegiatan malam Minggu yang rutin kami lakukan, Karna Senin sampai Jumat mereka akan sibuk dengan kegiatannya.
Kami hanya berlima, ditambah dengan satu laki laki yang kerjaannya ngikutin dimana pun aku berada.
"Udah jam 10 gua pulang dulu ya, takut bokap nyariin tau sendiri kan" ucapku
"Dianter ga, apa perlu di kawal si satria siap aja buat anter kesayangannya" itu salah satu temanku mulutnya agak sedikit rusak, namanya Abel mulutnya agak rusak tapi yang dibilangnya adalah fakta semua.
"Alah digibeng ayah gua juga kabur kayak dikejar maling dia, gua pulang dulu deh sendiri aman"
Perjalanan kerumah ku hanya 15 menit makannya aku berani pulang sendiri, lagi pula aku terbiasa pulang malam kalau ada kegiatan dari kampus. Sepertinya ibuku sudah tidur aku sampai dirumah tidak ada hawa panas untuk memarahiku Karna pulang malam. Dan ayahku dia berkumpul dengan anggota RT sepertinya, aku tidak melihatnya sama sekali.
Masuk kamar dan tidur sepertinya menyenangkan pikirku. Tapi setelah aku berganti baju, pintu depan terbuka, ayahku sudah pulang, tumben biasanya jam satu malam.
"Buk pijetin bentar sakit badannya" ucap ayahku yang kudengar Dari kamar.
Dan aku tidak mendengar apa pun selain ibuku yang berteriak kalau ayah harus di bawa kerumah sakit
"Jagain ayah bentar, ibu mau panggil tetangga buat bawa ayah ke rumah sakit" ucap ibuku sebelum dia belari keluar menuju rumah sebrang
***
Setengah jam perjalanan, aku yang mati rasa tidak dapat mendengar atau mengucapkan apapun hanya diam seperti patung ketika seluruh badan ayah dipasang alat alat yang aku tidak mengerti.
"Sepertinya ada kebocoran jantung, dan kami harus melakukan tindakan operasi untuk tuan sandi" ucap dokter yang kudengar dari kejauhan
"Apapun dok lakukan" balas ibuk ku
Baru 10 menit dokter memberi keputusan, badan ayahku kejang kejang dan aku tidak dapat melihat apapun, aku pingsan.
Membuka mata yang aku lihat hanya pandangan blur dan aku rasanya masih berada di IGD, melirik ke samping ibuku sedang menangis ditemani oleh tetangga kami, aku berusaha bangun mencari penjelasan atas kebingungan ku
"Kenapa?" Hanya itu yang dapat ku ucapkan
"Sabar" ucap tetanggaku sambil menghela nafas "ayah udah meninggal"
Jantungku rasanya copot tidak berdetak, kepala ku ingin pecah, kaki tangan dan seluruh badanku lemas, apa yang aku lakukan, menangis iya hanya itu yang kulakukan
"Engga, ga mungkin, ayah tadi masih ngobrol sama aku, dokter ga mungkin ayah masih ada, ga mungkin ninggalin aku" raungku
"Ayah bohong, engga, ga ada yang bisa jagain aku lagi, ayah aku mau ikut, tuhan kenapa harus ayahku, kenapa bukan ayah orang lain, kenapa ayah ninggalin aku"
Bruuk..
Aku pingsan.
Sepertinya aku berada dirumah saat bangun, rumah begitu ramai banyak orang.
"Kenapa? Kok rame, ayah dimana" tanyaku seperti orang bingung
"Ikhlas ya nduk, ayah udah tenang, di doain aja jangan gini" ucap tetanggaku
"Ikhlas, ayah ga pergi dia masih di sini, kalian bohong, ibuk juga bohong" aku menatap ibuku
"Nduk ikhlas ya" hanya itu yang ibuku ucapkan
Ikhlas, ikhlas seperti apa yang aku lakukan.
Aku menangis, meraung berharap ini semua hanya mimpi dan ayah masih ada di sampingku menenangkan kegelisahan ini.
"Tapi, tapi ayah gimana"
"Ikhlas, yang sabar, ayah ga sakit lagi" ucap ibuku berusaha menenangkan
"Ga bisa, ga akan bisa, kalian ga ngerti aku kehilangan banyak hal setelah ini, ayah ga ada terus aku gimana"
"Ada ibu, kamu sama ibu" ibuku mengelus rambutku, yang lain berusaha membuatku tenang
"Mau sama ayah, engga yang lain, aku mau ayah" raungku tidak kunjung berhenti malah semakin menjadi
***
Ayah dimakamkan di kampung halamannya, aku harus belajar ikhlas, katanya kalau aku terus menangis, jalan ayah menuju surga tuhan akan menjadi susah.
Mesk begitu rasa ikhlas dan sabar hanya dapat di ucapkan di mulut nyatanya aku tidak akan ikhlas sampai kapan pun.
"Mau makan nduk?" Tanya bibi ku yang saat itu sedang menjagaku
"Engga"
"Mau pergi jalan jalan gpp loh nnti di temenin mas Danu" tawarnya
"Ke Makam ayah boleh?" Tanya ku dan bibi menganggukan kepalanya
Setelah itu aku berjalan kaki bersama mas Danu Karna makan ayah hanya berada dibelakang rumah menyebrang kali kecil.
Sampai disana aku duduk bersila di hadapan nisan ayah "kalau ayah ada di sini aku gak akan merasa sepi"
"Bohong pakde, ada mas Danu kok" mas Danu ikut menyaut
Aku mencibir "mas Danu pergi sama pacarnya ayah, adek sendirian, jangan percaya sama mas Danu, dia cuman jahilin aku aja bisanya"
Di sana aku mengadu banyak seperti ayah masih berada di sisiku. Mas Danu hanya diam mendengarkan.
"Adek pulang dulu deh, nanti para orang tua repot nyariin walau adek perginya sama mas Danu" aku berjalan pulang. Mas Danu menawarkan untuk berjalan lebih jauh melupakan sedihku.
***
Malam harinya aku dan ibu sedang berbicara berdua di halaman depan rumah nenek.
"Nanti setelah ini kita pulang ke jakarta" ucap ibuku"Kenapa? Kenapa kita engga di sini aja, biar deket sama ayah" bantahku
"Ibu harus melanjutkan bisnis ayah disana, kalau kita di sini yang mengurus bisnis dan yang ayah tinggalkan disana siapa" jelas ibukku
"Tapi kita bisa pulang kapan saja yang aku mau kan, kita bisa melihat ayah kapan pun" pintaku dengan menatap matanya. Walau sekeras apapun ibu dia tetap akan menuruti keinginan ku
"Iya kapan pun yang kamu mau, tapi kita pulang ke jakarta dulu, ibu harus mengurus banyak hal"
"Nanti aku bantu yang aku bisa"
"Tugas kamu itu kuliah, pergi kampus belajar yang pinter, jangan bikin ayah kecewa, urusan yang lain itu urusan ibu"
Aku tidak membalasnya, hanya diam. Iya keinginan ayah adalah agar aku bisa sekolah tinggi dan membuatnya bangga.
Itu adalah rencana ibuku dan aku. Tapi rencana hanyalah rencana siapa yang tau tuhan mentakdirkan apalagi setelah ini, siapa yang tau tuhan memberi kejutan apalagi setelah ini. Yang aku mengerti aku harus mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi kedepannya. Karna aku adalah kebanggaan ayah maka aku harus membuktikan bahwa aku kuat dan mampu seperti ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
60 hari bersamamu
Non-Fictionkami rasa waktu yang diberikan tuhan akan begitu panjang untuk dilalui, nyatanya kami hanya di berikan waktu sedikit untuk bersama. bukan satu tahun, dua tahun, atau bahkan lebih, hanya 60 hari kami bersama. perjalanan hidup kami bukan lah istimewa...