02 | Simalakama

105 19 3
                                    

"Kita harus bicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita harus bicara."

Hanum tak bergeming. Dia menatap sang suami yang baru datang dari pantulan cermin. Sorot matanya tak bisa berbohong. Ada rasa marah yang teramat besar, sesak yang seakan meremukkan dada. Hanum tidak bisa bersikap baik-baik saja sedangkan hatinya hancur berkeping-keping. Bahkan setelah tiba di kamar, dia menumpahkan segala tangisnya. Hanum tersedu-sedu, memeluk bantal dengan erat, menutup mulutnya agar isaknya tak terdengar sampai luar. Sampai dia merasa lelah, kelopak matanya sempat tertutup walau sebentar. Dalam tidur pun, dia masih merasakan kegelisahan, sakitnya tak ingin hilang.

Kembali pada saat ini, Igo yang tak mendapatkan respon dari sang istri, memberikan tatapan jengkel. Dia memilih menghampiri Hanum dan duduk di samping ranjang. Jaraknya cukup dekat, dia bisa melihat bagaimana wajah sembab sang istri. Sesaat, rasa bersalah kembali muncul. Dia menebak jika Hanum menangis sangat lama hingga matanya agak bengkak.

"Hanum ...," panggilnya dengan suara pelan.

Hanum menoleh, memberikan tatapan datar pada sang suami. "Aku pikir kamu tidak akan pulang."

"Ada yang harus kita bicarakan," ujar Igo, mengabaikan kalimat sang istri barusan. Sejak di perjalanan, Igo sudah berusaha menyusun banyak kalimat yang pas. Dia harus hati-hati bicara jika tidak ingin keadaan semakin runyam. Tatapannya melembut, dia harus menenangkan hati sang istri lebih dulu. "Aku mau jelasin tentang Ayu."

"Wanita tadi, ya?" Hanum bertanya sambil tersenyum miris, "kamu mau mengaku tentang hubungan gelap kalian?" tebaknya langsung. Lelaki itu tidak bisa lagi menyangkal. Semuanya sudah terbongar.

Igo meneguk ludah kasar. Tatapannya sedikit bergetar kala bersitatap dengan manik mata sang istri. Semua kalimat yang sudah disiapkannya tadi seakan menguap, hilang bersamaan dengan kalimat yang Hanum todongkan. Hingga dia pun tak memiliki pilihan lain selain memberikan anggukan singkat.

Hanum terkekeh miris. Dia mengangguk, menguatkan hatinya untuk kembali bertanya. "Sudah berapa lama? Ah, tidak. Maksudku sudah sejauh mana kalian berhubungan? Apa sudah ada anak?"

Dalam hati mungkin Hanum berdoa agar sang suami menggelengkan kepala sebagai isyarat jawaban, tapi lelaki itu kembali mematahkan harapannya.

"Ayu masih mengandung 10 minggu."

Hanum merasa ribuan jarum menghunus dadanya secepat kilat. Pedih rasanya. Saat dia berharap kehadiran buah hati dalam perutnya, sang suami malah menghamili wanita lain. Air mata kembali menetes tanpa diminta. Hanum tidak mau bersikap lemah begini, tapi keadaan seakan mendorongnya ke tepian jurang yang hanya bisa bertumpu dengan satu kaki. Besar kemungkinan dia akan jatuh dan tak bisa selamat.

"Sayang, dengerin aku dulu." Igo mengambil langkah mendekat. Dia meraih kedua tangan sang istri yang beruntungnya tidak melakukan perlawanan. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik mungkin. "Aku tidak bermaksud melakukan semua ini sama kamu. Kamu tahu, kan kalo aku cinta banget sama kamu. Tapi, semua ini terjadi begitu saja. Kami gak sengaja mengahabiskan waktu berdua dan ... seperti ini. Tanpa direncana, kami semakin terikat."

Air Mata Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang