Leriche de saveurs à Paris

23 2 2
                                    

Aku menunggu di jalanan kota cinta mahakarya sang pencipta dengan berdebar-debar. Memang degup jantungku lumayan merepotkan. Selain menunjukkan kesan romantisme, Jalan de Gaulle terkenal dengan beberapa spot foto bergaya vintage dan berbagai macam tanaman tumbuh subur di tanah ini. Tidak hanya itu, di sisi jalur pejalan kaki disediakan bangku taman, dan sialnya aku menunggu bersebelahan diantara sepasang kekasih yang saling memadu kasih.

Sepertinya orang-orang suka memadati jalanan kota di akhir pekan. Aku yang melihatnya ikut merasa lelah, padahal melakukan aktivitas tak seberapa. Bila diamati lebih jauh, ternyata tidak hanya berlatar suasana romantis, jajaran gedung pencakar langit memiliki nilai seni yang tinggi. Membuatku berdecak kagum.

Seseorang yang ditunggu-tunggu pun belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Aku bersenandung kecil untuk mengurangi perasaan canggung dadakan tak berarti ini. Sesekali menggerutu dan menyumpahi si tengil Heinrich. Jikalau bukan karena sosok yang berhasil memiliki "separuh" hatiku selama setengah tahun... aku enggan menuruti kemauannya.

Selagi asik tenggelam dalam pesona City of Love, dari arah seberang terlihat lelaki jangkung berbalut long coat berwarna cokelat dengan langkah tergopoh menghampiriku.

Lihat, bahkan bangunan bernilai seni tinggi sudah tak menarik lagi untuk dipandang. Netraku terpaku pada satu objek, sampai-sampai dibuat terpukau dengan penampilan lelaki yang kini berada di hadapanku. Benar, dia Fleur Heinrich.

"Huft, kamu sudah lama menungguku atau hanya sepersekian menit?" ucapnya kelewat santai.

Reflek aku melotot ke arahnya, pertanyaan bodoh macam apa yang barusan meluncur dari bibir tebalnya. "Ringan sekali ya, bibirmu! Aku sudah menunggu selama hampir 20 menit, di manakah letak sopan santunmu?!"

"Kupikir tidak masalah, mukamu terlihat tidak keberatan. Aku kan teman baikmu yang tampan, rajin menabung, baik hati, dan tidak sombong."

"Tolong sekali, Fleur! Hentikan ocehanmu, kakiku pegal."

"Siapa suruh berdiri di sepanjang trotoar seperti anak hilang? Ada bangku kosong di sebelah sana, Margareth Joyceline ."

"Aish, diamlah. Kamu menyebalkan."

Kini Fleur terbahak tak tahu malu. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang lucu? Aku menghela napas kesal sembari menunggu tawa lelaki sok keren di depanku ini. Setelah reda, ia memasang muka serius dan tanpa izin menarik pergelangan tanganku. Demi Tuhan, apa yang akan dia perbuat lagi? Aku sedikit kewalahan mengikuti langkah lebarnya.

Aku mencoba bertanya padanya dengan napas memburu, "Fleur... pelankan langkahmu dulu," aku mengatur pernapasan sejenak, "katakan padaku kita akan kemana!"

"Sudah sampai."

Kuedarkan pandangan. Sebuah restoran kelas menengah berdiri kokoh di hadapan kami. Terlihat jelas sekali dari penataan bangunannya yang simpel dan terdapat sentuhan vintage bercampur modern dari luar, menambah kesan elegant nan minimalis. Seperti kebanyakan bangunan Eropa lainnya.

Setelah masuk ke dalam restoran dan duduk di tempat yang telah direservasi atas nama 'Fleur J. Heinrich', bau Espadon Grille menguar begitu kuat dan menggiurkan. Siapa saja yang datang ke tempat ini dengan perut kosong, pasti dijamin pulang dari restoran dengan perut penuh. Aku menelan ludah kasar, antara tergiur dan menjerit tertahan karena melihat harga yang tertera dalam menu.

Selesai dengan acara memesan hidangan À la carte, kami terdiam beberapa saat sebelum si tengil sok cool di depanku membuka suara. "Kamu tahu? I like being on my own."

"Jadi, menurutku relationship are messy and people feeling get hurt. Who needs it? Kita belia, bersyukur tumbuh di kota seindah ini," dia tersenyum hangat ke arahku, "sebaiknya kita bersenang-senang selagi bisa."

Aku ikut tersenyum, mulai paham dengan arah pembicaraannya. Tidak terkejut lagi, dan sepertinya perjuanganku selama hampir 2 tahun harus kandas sekarang.

"Je t'aime," imbuhnya dengan tegas seolah tak terjadi apa-apa, "because you're my bestfriend ever."

Aku terkekeh geli, 'ternyata hanya sebatas teman', batinku.

"Je t'aime plus, Heinrich." jawabku, setelahnya hidangan yang kami pesan telah berjejer rapi di atas meja, pun tanpa basa basi langsung menyantap makanan dengan khidmat. Hanya perangkat makan saja yang berdenting saling beradu di keheningan yang tercipta. Biarkan sepasang manusia berlawanan jenis itu menikmati momentum kebersamaan untuk terakhir kalinya. Karena setelah ini keduanya berada di jalannya masing-masing.

Ditulis oleh Harsafiskalia


Sidoarjo, 30 September 2023
Pukul 00.56


Diperuntukkan untuk kamu yang telah lama memendam rasa pada seseorang tetapi enggan menyatakannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Yesterday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang