"Ulangan kali ini hanya ada beberapa yang lolos. Bahkan tidak sampai setengah dari jumlah anak di kelas kalian." Bu Rety yang merupakan guru kimia sekaligus wali kelas Gia itu memperbaiki kacamatanya sembari memperhatikan nilai-nilai yang terpampang di folder.
Sementara itu Gia menopang dagu sambil memainkan pulpen di tangan kanannya. Matanya beralih dari guru di depan menuju ke seseorang di barisan tengah yang duduk dengan penuh percaya diri sambil tersenyum tipis. Ini bukan pertama kalinya Gia menyadari gerakan kecil itu.
Semenjak satu kelas dengan Amora, Gia jadi tahu alasan mengapa gadis itu sering menjadi bahan omongan. Kecantikan dan fitur blasterannya memang menjadi daya tarik yang kuat untuk membuat Amora menonjol di antara gadis-gadis lain. Namun, bukan hal itu yang menjadi identitas dirinya.
Amora tidak pernah peduli dengan orang lain. Dia ingin menjadi yang pertama dan tidak boleh ada yang melampauinya. Bahkan dia terang-terangan menunjukkan aura permusuhan saat ada orang lain yang mendapatkan nilai sempurna meskipun Amora sudah lebih sering mendapatkannya.
Maka dari itu saat mayoritas kelas mendapatkan nilai rendah dia akan menikmati momen tersebut dengan sebaik mungkin. Gia tebak Amora mendapatkan kepuasaan tersendiri setiap hal itu terjadi. Padahal nilai rata-rata satu kelas juga penting untuk menjadi perhatian. Anak yang lebih unggul dalam banyak aspek seperti Amora sudah sepatutnya membantu yang lain untuk lebih meningkat.
Tapi, kembali lagi pada fakta yang ada. Dunia Amora hanya dirinya sendiri dan itu mutlak.
"Saya tidak bisa bagikan sekarang karena ada yang belum susulan. Mau dibacakan atau tidak nilai kalian?" tanya guru itu.
"Bacain, Bu!" seru salah seorang siswa.
Namun, setelah itu ada yang menyahut, "Maju satu-satu aja, Bu. Biar lihat nilainya sendiri."
Usul yang kedua lebih diterima oleh anak-anak lain. Mengingat mayoritas kelas tidak lolos sudah pasti banyak yang tidak suka kalau nilai mereka terbongkar begitu saja.
"Saya panggil sesuai urut absen." Wanita itu duduk di meja guru di depan kelas sebelum mulai memanggil, "Mulai dari yang pertama, Amora."
Gia memperhatikan gerak-gerik Amora mulai dari berdiri sampai berjalan ke depan kelas dengan langkahnya yang tegas. Ekspresi Amora saat melihat kertas ulangannya tampak biasa saja. Kalau begini artinya nilai Amora sama seperti biasa... sempurna.
"Kayaknya gue remed," ujar Freia pelan.
"Pesimis mulu," balas Gia kepada Freia yang duduk di sebelahnya.
"Kira-kira lo dapat berapa?"
Kalau boleh jujur, Gia punya firasat baik karena dia bisa mengerjakan ulangan kimia minggu lalu tanpa kendala. Namun, bisa saja dugaannya meleset. "Gue yakin di atas KKM."
"Gak heran, sih. Yang lain udah ngorok lo pasti masih belajar dengan segelas kopi lo itu." Freia berdecih.
Gia tidak bisa mengelak. Dia memang tidak diberkati otak cemerlang yang langsung memahami inti pelajaran begitu saja. Tapi, bukan berarti tidak ada jalan lain untuk mendapatkan nilai bagus. Kerja keras adalah satu-satunya cara Gia bertahan. Berbeda dengan Amora yang memang dari sananya pintar.
"Lain kali ajarin dong," ucap Freia yang berusaha tidak deg-degan menunggu namanya disebut.
"Mau kalau dibayar," ucap Gia blak-blakan.
"Sebutkan nominalnya."
"Seratus ribu per detik."
"Dih..."
Gia nyaris tertawa melihat ekspresi Freia saat mengatainya. "Kalau pegang hp udah gue foto muka lo."
"Freia Livyna!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stolen Reputation
Teen Fiction"Semua pencapaian klub kesayangan lo bakal gue jadiin berita bulanan semenarik mungkin. Dan lo bantu gue buktiin bahwa rumor itu salah. Gimana?" Pemuda itu hanya diam dan memberi tatapan seolah semua yang direncanakan Gia sudah gagal bahkan sebelum...