"Gia, nomor satu kemarin jawab apa?" tanya seorang gadis berambut sebahu sambil mencodongkan tubuh ke Gia yang sedang duduk.
Beberapa orang mulai mengerubungi meja Gia pagi ini. Kurang lebih 6 orang kalau dirinya tidak salah hitung. Mengingat jarak antar meja tidak jauh membuat Gia merasa sangat sempit.
"Soalnya apa?" tanya Gia canggung. Biasanya hanya satu atau dua orang yang bertanya kepadanya terkait pelajaran. Tapi, hari ini lebih dari biasanya.
"Gi, lihat kerjaan gue. Check dong bener atau gak."
"Bener, Kal," jawab Gia setelah memeriksa satu soal.
"Kalau yang ini gimana?"
Gia berusaha menjelaskan, tapi perhatiannya segera dialihkan oleh pertanyaan lain.
"Gue bingung nyari mol di nomor yang ini gimana. Bisa ajarin, gak?"
"Boleh. Ada cosol, gak?" tanya Gia yang lama-lama keringatan meski masih pagi.
"Nih, latihan dari kelas sebelah," ucap sang teman sambil mengeluarkan selembar soal. "Katanya di remed keluar."
"Serius lo?! Persis sama?" tanya yang lain semangat.
"Harusnya iya. Bu Rety kalau bikin soal remed suka mirip soal latihan."
"Gue harus lihat!" Kertas yang dipegang Gia direbut begitu saja dan sekarang semuanya berkumpul untuk melihat soal latihan tersebut.
Sementara itu Gia hanya bisa mengeluh dalam hati karena sedari tadi dia tidak mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik. Sejujurnya kalau dia juga remedial pasti reaksinya akan sama saat menemukan bocoran soal. Tapi, minimal biarkan dia menjelaskan satu soal yang tadi ditanyakan. Belum sempat menjelaskan saja kertasnya sudah menghilang entah kemana.
"Pagi pagi udah keringetan aja," sindir Freia yang baru sampai sambil menyampirkan tasnya ke belakang kursi.
"Keringet dingin ini," jawab Gia sambil mengambil botol minumnya dan menghabiskan setengah isinya.
"Akhirnya sepi juga lo!" seru Mika yang sedari tadi menunggu meja Gia kosong. "Gue mau mastiin aja jawabannya bener atau enggak. Bantuin nih."
Gia mengamati selembar soal yang sudah dijawab oleh Mika. Kemudian setelah beberapa waktu dia mengembalikannya lagi kepada si pemilik. "Bener kok. Tapi, hati-hati aja bu Rety suka minta yang lengkap."
"Anjir iya juga. Gue mager lengkapin soalnya," ujar Mika. "Thanks, Gia."
"Sama-sama."
Ada satu hal lagi yang ingin Mika sampaikan sebelum pergi. Rasanya dia ingin meluapkan hal ini mewakili teman-temannya. "Gi, mulai sekarang gue bakal jadi pendukung lo di semua pelajaran."
Gia menatap Mika yang berdiri di depan mejanya sambil mengerutkan kening. "Maksud lo?"
"Gini gini. Selama ini posisi pertama di kelas... tau, kan siapa?" tanya Mika tanpa mengecilkan suaranya setelah memastikan Amora sedang tidak berada di dalam kelas.
Gia mendengarkan dengan seksama. Begitu juga dengan Freia yang ikut-ikutan menyimak.
"Nah, kalau lo rebut posisi itu kelas kita pasti lebih tenang, Gi. Lo lebih bisa diandelin daripada si Amora. Dia bisa banyak hal, tapi egois. Yang ada di pikirannya cuma dirinya sendiri. Diminta bantuin malah dikacangin. Dia pikir keren begitu? Mentang-mentang pinter dan famous jadi seenaknya. Suatu saat kalau dia butuh bantuan gak bakal ada yang kasih. Orang kayak gini gak bakal punya temen setia asli!" ucap Mika tegas.
"Bentar, Mika—" Gia ingin menenangkan teman sekelasnya yang mengeluarkan unek-uneknya dengan membara, tapi perkataannya langsung disela.
"Gia, gue serius deh. Gue benci banget sama orang kayak dia. Semua gerak-geriknya bikin darah gue mendidih dan gue yakin bukan cuma gue doang yang ngerasa begitu. Gue yakin lo bisa jadi orang pertama yang kasih tau arti kegagalan ke si Amora!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stolen Reputation
Teen Fiction"Semua pencapaian klub kesayangan lo bakal gue jadiin berita bulanan semenarik mungkin. Dan lo bantu gue buktiin bahwa rumor itu salah. Gimana?" Pemuda itu hanya diam dan memberi tatapan seolah semua yang direncanakan Gia sudah gagal bahkan sebelum...