Dua

52 9 0
                                    

"Sorry to say, tapi ekskul jurnalistik bakal semakin berkurang peminatnya setiap tahun kalau kita selalu pakai ide yang didaur ulang terus-terusan," papar Adnan selaku ketua ekstrakurikuler jurnalistik.

Rapat kali ini berlangsung sedikit menegangkan. Gia berusaha mendengarkan sambil bersiap mencatat poin-poin penting yang mungkin bisa menjadi bahan perbaikan untuk ke depannya. Namun, sejak tadi hanya ada recok dan ketegangan antara Adnan dan beberapa anggota lainnya.

Catatan Gia masih bersih dari coretan akibat ketidakmampuannya untuk fokus mendengar pembahasan rapat kali ini. Hanya ada kritik yang tidak membangun karena Adnan tidak kunjung memberikan solusi. Laki-laki itu mengomeli setiap divisi dan mengeluarkan unek-uneknya sebanyak mungkin karena guru pembimbing mereka berhalangan hadir hari ini.

"Ingat materi kalian waktu awal ekskul? Kita udah diajarin untuk berpikir analitis dan sistematis, gimana menyajikan informasi agar mudah dipahami orang lain, tapi yang kalian lakukan malah sebaliknya. Gue ngomong gini buat tim yang lo pimpin, Deasya," ujar Adnan kepada Deasya yang merupakan divisi kreatif.

"Gimana maksud lo, Nan?" tanya Deasya masih bisa melempar senyum yang dipaksakan.

"Berita di mading, sakit mata gue lihatnya. Gak ada yang tertarik baca itu semua. Tim redaksi juga gimana, sih? Masa yang kayak begitu kalian anggap layak buat diedarkan ke sekolah?" tanya Adnan yang membuat anggota lain semakin tidak setuju dengan argumennya.

"Hey, Nan. Kalem dulu. Lo juga harusnya sadar minat literasi anak-anak sekolah kita rendah. Wajar dan gak heran lagi hasil kerja kita yang banyak tulisan sepi peminat. Lo gak bisa langsung nyalahin anggota sendiri dong," ucap Cakra yang duduk di sebelah Gia.

"Lo mewajarkan hal itu, Cak?" tanya Adnan sambil terkekeh. "Gue yakin lo gak sebego itu. Atau emang dari awal lo udah begini?"

"Nan, gak usah bawa-bawa kata kasar," tegur yang lain.

"Hasil-hasil kerja dan diskusi pasti kami usahain serahkan dulu ke lo. Tapi, lo selalu sibuk sendiri dan gak ada waktu buat benar-benar baca naskah yang udah disiapin. Padahal lo yang punya tanggung jawab paling gede, Nan," ujar Deasya.

"Tanggung jawab itu bukan cuma di ketua," balas Adnan serius. "Emang kalian yang gagal aja ngelaksanain bagian masing-masing. Masa zaman sekarang masih mau nyalahin ketua atau pemimpin gini?" "

Gia tidak mengerti mengapa ekskul jurnalistik bisa menjadi pertunjukkan adu mulut sepeti sekarang. Padahal dia memilih ekskul ini karena mengharapkan kedamaian dan tidak ada pertikaian seperti di ekskul olahraga. Namun, kenyataan yang harus dia terima malah sebaliknya. Sepertinya masalah ini baru terjadi di era jabatan Adnan saja. Tapi, entahlah. Gia tidak tahu situasi di era lain.

"Yang lagi bengong," celetuk Adnan tiba-tiba. "Coba gue lihat ada apaan di catatan kecil itu. Siapa tau tulisan lo bisa mengatasi masalah."

Mendengar sarkas yang ditujukan kepadanya membuat Gia memperbaiki posisi duduknya. "Sorry, Nan. Gue belum nulis apa-apa."

"Bagus, ya. Gak ikut campur memanasi situasi dan tetap diam. Gue apresiasi kebaikan lo," sindir Adnan. "Masuk divisi apa lo?"

"Koresponden," jawab Gia pelan. Dia berani bertaruh bahwa Adnan tidak ingat namanya juga.

"Mewakili divisi, sumbang pendapat lo ke rapat kali ini."

Rasanya Gia ingin kabur saja dari ruangan ini. Keadaan menjadi hening dan rasanya Adnan tengah menatapnya tajam dari depan ujung meja rapat. Hari ini pemimpin divisinya izin tidak ikut rapat jadi tidak ada dari timnya yang bersuara sejak tadi. Kalau tahu begini Gia juga izin pura-pura sakit.

Sebelum membuka suara, Gia berdeham terlebih dahulu. "Um... kita masih ada podcast dan akun youtube yang terbengkalai. Gak ada konten dan itu udah berbulan-bulan karena fokusnya kita selama ini cuma ngembangin akun instagram, mading, dan berita bulanan. Seingat gue dulu lumayan banyak viewers karena rajin dipromosiin dan kontennya disupport juga sama sekolah. Jadi, gimana kalau kita—"

Stolen ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang