2 || Pesan

14 8 0
                                    

Handphone-ku bergetar, papa meneleponku tengah malam. Aku masih menunggu Mars di rumah sakit, tentu saja rumah sakit adalah mimpiku dahulu. Aku tidak menggubris handphone, hanya berusaha melihat Mars yang masih terbaring lemah.

Ars ... apa waktu terus yang mau menjawab? Ucapku dalam hati. Mencari jawaban kenapa kamu lagi kamu lagi Ars. Aku tidak mungkin sampai di titik sekarang kalau bukan karenamu. Aku lelah. Cerita ini ada-ada saja. Aku jengkel dengan penulis kita ini Ars, apa kamu memang harus sakit terus? Entahlah, dunia tidak pernah menjawabku.

Aku mengganti jas putihku yang baru. Mencoba memahami, apa arti dari sebuah kata mimpi. Aku memimpikanmu selalu mencariku, aku juga. Aku hanya mencoba mengikuti alur yang Tuhan berikan.

"Dok, apa Nona Ars perlu transfusi darah lagi?" Aku menatap Ars lama dan mengangguk pada suster.

"Tolong cari golongan darah B lagi, aku tidak bisa sendirian."

Dadaku sesak, mataku memanas, aku mencoba menahan semua itu. Aku menyerah Ars ...

Ars, aku sudah tidak yakin dengan kondisimu. Aku memejamkan mata, berusaha menata benang yang sudah sangat kusut. Lalu ... kubuka kedua mata, aku harus bawa kamu ke Singapura memang. Dunia ini tidak adil. Aku membiarkan kita sama-sama sakit, tapi kamu yang kubiarkan lebih sakit. Kenapa? Karena aku benci harapan. Aku benci kalau kamu berharap padaku. Aku benci kau yang terus mengejarku. Aku muak, jujur sangat muak. Tapi bagaimana bisa aku selalu kembali mencari jawaban padamu Ars? Kamu memakai ilmu apa? Lebih baik aku menjauh dan aku benci kamu sakit.

PlutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang