4 || Untuk dia ...

11 2 2
                                    

Aku mendengarkan lagi lagu Adele kesukaan Mars. Dia juga pernah bilang kalau dia suka sekali lagu Aqua Timez. Aku terkekeh, katanya benci jejepangan, tapi playlist-nya tidak sedikit juga dari industri musik Jepang. "Pagi, Ars!" celotehku.

"Hmm ... pagi," balasnya. Suaranya masih hilang-hilangan tetapi sedikit membaik, "aku telepon, kok, tidak diangkat?"

Aku terkesiap. "Em ... maaf aku nggak mengecek handphone. Ada apa?"

"Nggak mengecek tapi main handphone terus, aku nggak suka ...." Ars menatapku sebentar dan beralih melihat vas bunga.

"Ya aku harus bagaimana, Ars-"

"Ya jangan sibuk sendiri, dong! Aku sendirian terus! Kamu enggak pernah ngertiin aku!" hentaknya, persis seperti ibunya.

"Mas nggak mungkin ninggalin pasien ...." kataku serak.

"Terus aku nggak penting, ya?" sanggahnya.

Aku hanya diam dan memasukkan handphone ke saku jas. Dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang membuatku ingin mendengarnya. Kenapa?

Aku mendekat dan meraih tangannya. Dia tidak menolak. Selang infus masih setia mendekapnya.

Ia menggeleng. "Aku tidak mau ... aku tidak mau disuntik lagi, menyakitkan, aku tidak suka ...."

Ia menangis sesegukan dan aku memeluknya. Aku mengelus punggungnya dengan perlahan dan ia membalas pelukanku. Aku berharap waktu berhenti saat ini juga. "Hei, Penulis Kecil? Mengapa kau membuat dirimu sendiri menderita? Aku suka tulisanmu-"

"Nggak, aku capek!"

Aku mengeraskan rahang dan menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Kenapa?"

Ia menggeleng terus. "Mas selalu nggak percaya! Sakit rasanya!" Ia mulai menjerit.

"Mas percaya, tapi kamu harus-"

"Harus apa lagi? Hm? Aku harus apa lagi? Pura-pura nggak kenapa-kenapa? Plu jahat!" katanya dan hidungnya mengeluarkan darah. Wajahnya pucat pasi.

Oh malam ...
Sampaikan sayangku untuk dia ...

Lagu berikutnya menembus dadaku. Ia pingsan lagi di hadapanku.

***

Aku menghisap rokok setelah salat isya. Mars koma lagi. Aku tersenyum kecut. Melihatnya, seperti melihat pelangi yang ia cari. Aku melamun.

"Dok," kata suster Dara. Ia menunduk, memberikan buku hasil pengecekan Mars.

Tidak bisa ditolong

Mengapa tiba-tiba ada suara itu muncul di sekitarku? Aku menggeleng. Aku ... ingin berziarah ke mama. Dadaku seperti dihantam bebatuan besar, menghimpit dengan sangat menyakitkan. Mengapa? Mengapa harus dia Tuhan? Kata orang-orang, kita tidak boleh mempertanyakan "kenapa" pada Tuhan, tetapi, itu yang muncul di kepalaku. Aku juga ragu dengan Mars. Rasanya jauh sekali, tetapi entah kenapa ada hal lain yang tak kupahami membuatnya terus bertahan. Aku belum berani mempertanyakan pada Mars, tapi ia masih saja ingin ... ah, tidak-tidak, aku tidak tahu.

Aku menghela napas. Butuh darah lagi? Aku lelah jadi dokter, apa lagi pasiennya adalah istriku sendiri. Aku tidak bisa. Ini menyesakkan.

Dara menatapku penuh kesungguhan. Tatapannya mengatakan aku harus merelakan atau terus mempertahankan?

Tidak, tidak Ars ...

"Seperti senja yang kian hari menapaki malam, ia pudar ..." gumam Dara, dia 2 tahun lebih tua dariku.

Mataku memanas, aku mengeraskan rahang, dan beralih menatap gedung-gedung pencakar langit. Singapura dingin sekali. Itu puisi milik Mars. Dia selalu membuatku ingin terus melindungi.

"Ia seperti tulang rusuk yang hilang, tidak menggema, juga tidak membunyikan suara. Aku ingin usai bersama doa-doa," lanjutku.

***

Aku menghela napas. Menatap Mars dengan mengintimidasi. Dia membuat kopi lagi.

"Apa?" tanya kami bersamaan. Aku tertegun.

"Letakkan sendoknya." Mars meletakkannya dengan kasar. Ia menghela napas dengan panjang lantas menatapku, aku selalu penasaran, kenapa ia tidak pernah menatapku dengan begitu lama?

Aku berhasil menangkap tubuhnya yang limbung dan langsung menghabiskan kopi yang dia buat.

"Memang buatmu," katanya dan dia terbatuk.

Bulu kudukku meremang. Aku membelikan bubur untuknya dan menyuapinya. Ars ... kau tahu? Kita seperti buku Sepasang yang Melawan. Aku tersenyum karena kau selalu menurut. Kau itu mudah sekali.

"Jangan pernah jatuh cinta pada seseorang yang kita kira bisa memilikinya, jatuh cintalah pada seseorang yang sulit untuk mendapatkannya."

PlutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang