2. Untuk Saku Penuh Permen

140 30 33
                                    

Kadang Tuhan terasa benar-benar baik. Semua ketidakteraturan telah diatur sedemikian adanya. Kau yang jauh, mau mengerti meski tak lagi berada di sisi.

~ Me!

Kau mungkin adalah bukti dari seluruh rasa dan emosi yang tertuang dengan hati-hati dalam baris puisi. Kau sempat membuat rasa terlahir di bumi memiliki sebuah arti. Terima kasih, sudah membantu sadar, bahwa mencintaimu tak memerlukan banyak usaha untuk membuktikannya, melainkan pada diri sendiri saja.

Setelah melewati tiga tahun dalam kehampaan, tiada kata-kata lahir dari dalam kepala. Sadar jika beranjak adalah omong kosong yang ada. Di antara perjalanan, kelak akan menemukan seseorang yang tepat; ternyata semua itu hanyalah abu-abu di balik ketidakmampuan untuk menyapumu dari segala kenangan yang terus menggangu.

Di yakini orang-orang; bahwa tak apa mulai terdorong 'tuk mencari tangan lain yang temani titik nadir-agar tak sendiri, agar perihnya terdistraksi.

Diam sejenak, lalu teryakinkan. Benar juga, mendamba peluk diri, hangat yang menghempas rasa sepi. Namun, tak ingin terdistraksi, tak ingin tumbuhkan dasar hanya agar lupa akan perih yang terpatri.

Sepertinya aku tidak mampu lagi mengisi cangkir dengan baik akhir-akhir ini: Tertanam ragu ketika kau anggunkan diri menawarkan untuk sedia tuang berbagai isi. Jawabku; biarkan saja habis yang sebelumnya ada, hingga ampas yang tersisa. Setelahnya, aku akan menerima apa yang kau punya, dan apa yang kau bawa. Biar dulu tersyarat doa kini 'kan kubawa ke hariban langit yang agung sana: Agar tahu arah atau rela menukar bahagia asal kau baik-baik saja.

"Kau dulu pernah bilang, perasaan itu seperti bola billiard yang bergulir di atas meja, tak tahu kapan ia jatuh, atau ia berhenti sebelum terjatuh." ucapmu memecah hening diantar kita.

Aku masih saja tak percaya, kalau pembuka cerita di tahun ini adalah bertemu denganmu. Tempat dimana dulu kita suka menghabiskan waktu tanpa kesibukan yang lagi mengganggu. Sudah lama, tapi hanya sedikit yang berubah. Tak lagi ada hati yang sesempurna dulu menyukai semua hal tentangmu, mendoakan, meski kau tak pernah tahu betapa riuh pinta, betapa bising mencintai dalam bentuk puisi dan diksi.

Sepertinya ini adalah satu dari hari  dimana semua marah tak meledak; sedih tak meleleh; lelah tak membuat lelap. Agonia, mengarung rasa yang tak mengerti dalam hati, seperti itu, entah. Namun, ini hanya salah satu dari hari-hari yang di takuti.

Februari membawa setiap rekaman yang belum bisa di redam, ada tangis yang tumpah, ada rindu yang bersemayam. Tertawa, mencoba untuk melupa dan memaksa ikhlas pada yang tak ada, tapi masih saja nyeri. Diam lalu aku sandarkan badan pada keletihan hati yang masih sesak. Tersenyum, lalu menangis dalam senyum. Memusatkan lagi pandangan, mulai berpikir secara sederhana, berharap semoga tentangmu lebur seperti gula dalam cawannya.

"Bagaimana jika ternyata tidak ada akhir yang bahagia, baik itu terhenti saat terjatuh, ataupun berhenti sebelum ia terjatuh?" jawabku.

Mengalun pelan melihat dirimu, menemukan ragu berpendar diantara coklat mata. Legam kelopak mengulas malam panjang tanpa tidur, kau sepertinya tengah berperang dengan dirimu.

Hujan tiba-tiba turun pertanda terperangkapnya aku atau kau oleh perasaan yang sedikitnya masih ada, masih ragu di ungkapkan.

Kau tiba-tiba memandang keluar, masih begitu antusias saat hujan menghantam tanah menciptakan aroma yang kau suka.

"Bagaimana rasanya bertemu lelaki yang sifat dan sikapnya selalu kau semogakan, bagaimana rasanya bisa jatuh cinta, tanpa terpaksa karena yang kau temui adalah dia yang tepat?" tanyaku bersama tegukan terakhir yang aku nikmati.

Alam raya seakan membawa kabar baik, bahwa satu-satunya yang mungkin kita butuhkan adalah waktu. Memori yang mungkin sesekali akan kembali, luka yang sepenuhnya belum terobati, semua akan baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja; selalu begitu, bila saja kita punya cukup waktu.

"Percayalah, aku sudah baik-baik saja, bahkan setiap kali kau mengunggah kebersamaanmu dengannya. Aku malah turut berdoa agar kebahagiaan selalu menyertai kalian." sambungku.

Kau malah menangis tersedu menyembunyikan pilu, seakan runtuh dan sia-sia. Berdiri lalu melangkah mencoba pergi. Trang ketika lonceng kecil menghantam pintu, sejenak kau membentuk rasa nyaman lewat momen mengundang rindu, juga sedikit sesal mengapa harus ada pergi jika pulang yang kau cari sudah sejauh ini.

Aku masih bisa mendengar suaramu, tetapi tidak ketika kau memanggil namaku. Yang teringat hanyalah ketika kau mengucapkan selamat tinggal. Aku masih bisa mengerti jika itu hanya lelucon, tetapi menyakitkan ketika  mengingat kata-kata itu lagi.

Mama pernah berkata; ada sejuta perempuan yang dapat aku temui sepanjang hidup, ada begitu banyak ikan di laut yang bisa di tangkap. Namun, yang aku inginkan hanyalah menangkap kupu-kupu.

Pernah berharap tidak akan ada orang ketiga seiring berjalannya waktu. Alam semesta telah bekerja keras, bekerja sama sehingga kita bisa tertawa sebanyak yang kita inginkan. Ada waktu yang tepat, tapi kita tidak akan pernah menjadi waktu yang tepat. Aku menemukanmu seolah-olah telah menemukan orang baik. Tetapi aku hanya seorang kekasih yang telah berubah menjadi pecundang. Kehilangan harapan dan menolak untuk mengemis.

'Tapi, Tuhan.'

Sekarang aku melihat ke langit. Memohon seperti anak kecil untuk saku penuh permen.

'Tolong,' bisikku lembut. Tuhan pasti telah mendengar doaku; aku telah menunduk.

Kepala Yang Di Mahkotai Kata SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang