Pindah Rumah

723 92 73
                                    

"Mas faris beneran mau balik ke rumah yang dulu?" tanya Kang Mus, memastikan jawaban Faris.

Faris mengangguk. "Nggeh mas, lagipula gak enak saya mas kalau tinggal di sini terus. Malu sama Abah Mas," ucap Faris, mengukir senyuman indah di wajahnya.

"Yowis mas, ojo lali sering-sering rene ya?" pinta Kang Mus, dengan nada permohonan.

"Kalau ada waktu ya Kang, saya mesti ke sini kok."

"Ustadz Faris beneran mau pindah? Istrinya tinggal di sini aja ya Ustad? Ustadz pindah sendiri saja."

Celetukan itu membuat Faris menoleh menatap sumber suara. Ternyata yang bersuara tadi merupakan seorang laki-laki, bertubuh tinggi dan sedikit berisi, tetapi masih bisa di bilang tampan. Faris mendengus, enak saja dia pindah ke rumah, tetapi Aneesha masih berada di sini? Percuma dong dia pindah, mending di sini aja terus sama istrinya.

Faris memberi tatapan tajam, santri itu meneguk ludahnya secara kasar. Sepertinya dia salah bercanda di depan Ustadz yang satu ini. Dulunya Faris memang di juliki Ustadz paling baik hati, tetapi semenjak menikah dirinya kerap kali cemburu dengan santrinya sendiri.

"Hehe maaf Tadz,"

"Mas saja," ralat Faris.

Santri itu menggeleng. "Gak sopan Ustadz," tolaknya.

Meski sudah lama mendapatkan julukan Ustadz muda, sebenarnya Faris risih. Dia merasa belum siap menerimanya, menjadi Ustadz bukan suatu hal yang muda kan? Faris sadar diri.

"Terserah kamu aja dah."

Faris melenggang pergi tanpa salam, membuat santri itu merasa bersalah. Namun, mau bagaimana lagi coba? Abah Rahim sendiri yang menyuruh mereka semua memang Faris dengan sebutan Ustadz, karena Faris juga sering menggantikan mengajar bagi kelas kelas yang kosong.

---

"Humaira?" panggil Faris, dia masuk ke dalam kamarnya.

Ini sudah memasuki 2 bulan pernikahan mereka dan 2 bukan itu juga, mereka masih tinggal di kawasan pesantren. Rumah mereka ini masih berada di kawasan dalam pondok, setelah menikah Abah Rohim menyuruhnya untuk tetap tinggal di pesantren dan mengawasi beberapa kegiatan di sana.

Awalnya Faris menolaknya, tak mungkin dirinya merepotkan Abah Rohim terus menerus. Sekarang dia telah memutuskan untuk keluar dari pondok, bukan karena dirinya tak nyaman. Namun, dirinya takut jika nantinya sedikit menganggu mereka jika istrinya hamil nantinya. Maka dari itu, Faris sudah mempersiapkannya dari sekarang.

"Humaira, kamu di mana?" panggil Faris sekali lagi. Dia berjalan menuju kamar mandi, takut terjadi apa apa dengan istrinya. Dia tahu, karena tak mungkin istrinya itu akan berkeliaran di pesantren ini tanpa ada dirinya.

Dor!

Suara itu membuat Faris terkejut, dia membalikkan tubuhnya dan mendapati Aneesha yang sedang tertawa terbahak bahak sembari memegangi perutnya. Faris memencet hidung Aneesha, supaya istrinya itu berhenti tertawa.

"Senangnya buat ana jantungan, nanti kalau ana pergi siapa yang ngerawat anak ana yang berada di perut kamu," celetuk Faris asal.

Aneesha otomatis menundukkan kepalanya dan mengusap perutnya yang memang sedikit membesar. Namun, bukan karena kehamilan, tetapi karena makanan Aneesha memang sangatlah banyak.

"Mana adaa? Ini makanan semua. Memangnya anakmu itu makanan?" ucap Aneesha dengan sebal, dia masih saja mengusap perutnya tanpa dia sadari.

"Humaira gak percaya? Tes aja gih, pasti ada tuh anakku yang nyempil di perutmu," balas Faris percaya diri, membuat Aneesha berdecak. Dia segera menepis tangan Faris yang ingin menggerayangi perutnya.

Living With Mas Santri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang