Epilog

91 10 0
                                    

"Opaa ... Opaaa ...."

Suara laki-laki menggelegar setiap sudut rumah yang terlihat sangat luas. Dia, Ikram Moeslim, bocah kecil yang beberapa tahun lalu di selamatkan oleh Aneesha. Kini, bocah kecil berumur 6 tahun itu, telah menjelma menjadi seorang anak laki-laki yang siap siaga untuk melindungi adiknya, yaitu Akmal Nabhan Zhaarif.

11 tahun berlalu, tak ada yang berbeda dari rumah itu. Kahfi dan Halwa menepati janjinya untuk tidak mengubah suasana rumah itu. Semuanya masih ada di tempatnya, termasuk foto-foto Aneesha dan Faris. Masih terpajang indah di dalam kamar Aneesha.

"Opaa?" Ikram menepuk pundak Kahfi, membuat pria paruh baya itu terkejut.

Kahfi membalikkan tubuhnya, di sana  Ikram telah berdiri dan di ikuti oleh Akmal di bekalang tubuh laki-laki itu. Kahfi tersenyum, menyambut mereka berdua dengan senyuman lembut.

"Sudah pulang? Kenapa tidak memberi salam?" tanya Kahfi, menegur lembut.

"Kami sudah memberi salam, opa saja yang tidak mendengar!" Bocah laki-laki yang berumur 11 tahun itu merengut lucu, membuat Halwa yang baru saja datang pun terkekeh.

"Sudah, sudah. Ayo masuk!" ajak Halwa lembut.

Kahfi mendengus, selalu saja istrinya berbicara lembut dengan cucunya, tetapi dengan dirinya!

"Sudah, jangan cemburu sama anak kecil ... Malu!"

"Iya ... Iya."

Akmal berlari mengikuti Halwa yang berjalan duluan, di ikuti oleh Ikram yang berjalan di belakangnya. Mereka berdua baru saja pulang dari pesantren, karena merupakan hari libur. Mereka menyempatkan untuk mengunjungi Kahfi dan Halwa.

"Omaa tahu tidak? Hafalan Akmal sudah sampai juz 6 tau, omaa!" celoteh Akmal.

Yang lainnya hanya bisa geleng-geleng kepala, sungguh Akmal ini sifatnya mirip dengan Aneesha. Untungnya berjodoh dengan Faris, makanya bocah laki-laki itu gemar mengaji, tidak seperti Aneesha dulu yang harus di paksa barulah mau ngaji.

"Pintar, cucu siapa sih?" tanya Halwa sembari mencubit pipi Akmal yang terlihat sedikit berisi.

"Hihihi ... Cucu omaa sama opaa dong!" jawabnya dengan riang.

Bocah itu mengambil beberapa kue kering yang ada di meja dapur, kemudian memakannya sampai beberapa biji masuk ke dalam mulutnya.

"Kamu nih rakus, kaya umma kamu."

Mendengar ucapan Kahfi, kedua laki-laki beda usia itu mengalihkan pandangannya pada Kahfi. Keduanya menatap penasaran pada pria tua yang suka ceplas-ceplos.

"Benarkah? Umma Anesh makannya banyak ya, opa?" tanya Akmal polos.

Sedangkan Ikram diam saja, menyimak pembicaraan adiknya dengan sang opa. Dirinya juga ingin tau tentang seseorang yang menolongnya puluhan tahun lalu.

"Betul tuh, dulu abi Faris makan masih sisa setengah, umma kalian udah habis 2 piring." Halwa tertawa saja, wanita itu meletakkan susu hangat di depan Akmal dan Ikram.

"Akmal kangen umma, opa. Apa boleh Akmal berkunjung di rumah baru umma?" tanyanya dengan raut wajah sendu.

Di dalam diri Ikram terdapat sebuah penyesalan, dia merengut kedua orang tua bocah kecil itu. Bayi yang seharusnya masih mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan ayah, harus belajar mandiri karena orang tuanya yang telah berpulang lebih dahulu.

"Apa yang kamu pikirkan, nduk?" tanya Kahfi yang menyadari raut wajah Ikram.

Laki-laki itu menggeleng, tak ingin Kahfi tau jika dirinya sering kali berlarut dalam kenangannya saat pertama kali bertemu dengan Aneesha.

"Jangan pikirkan apapun, abimu yang memilih untuk menyelamatkan kalian." tutur Kahfi.

"Hanya sedikit sedih."

"Baiklah, nanti ajak adik kamu untuk mengunjungi orang tua kalian."

---

Di sinilah mereka berdua berada, makan umum yang tak jauh dari kompleks perumahan Kahfi. Ikram mengenggam jemari Akmal yang sedang bersenandung riang meski dengan suara yang sangat cempreng.

"Rumah umma sama abi yang mana, ya?" ujarnya sembari mengingat.

Sesampainya di hadapan liang kubur orang tuanya, keduanya langsung berjongkok. Ikram yang lebih dulu memulai.

"Umma, abi, apa kabar? Pasti abi senang karena abi sudah bertemu dengan umma lagi. Tapi abi, Ikram sedih karena belum sempat berbicara dengan abi dan umma. Ikram hanya ingat dengan suara umma yang menyapa Ikram dengan lembut, meski saat itu umma sedang berada di ujung mautnya. Terimakasih, karena mau menukar hidup kalian dengan hidup Ikram."

Laki-laki itu tak kuat merasa rasa sakit di dadanya, sungguh menyesakkan. Ingatan memori saat dirinya berbicara dengan Aneesha dan Faris berusaha melindungi diri dan juga Aneesha.

Akmal yang melihat kakaknya menangis, juga ikutan menangis. Bocah kecil itu langsung berhamburan memeluk nisan kedua orang tuanya.

"Akmal rindu umma, rindu abi juga! Meskipun kita tidak pernah bertemu, tetapi Akmal sungguh menyayangi umma dan abi!"

Hembusan angin kencang menerpa kedua wajah laki-laki beda usia itu. Sangat menikmati pertemuan beda alam, membuat mereka tak sadar jika ada kedua orang yang mengamati mereka dari jauh.

"Kasian sekali cucu cucuku." Halwa terisak pelan.

"Doakan saja yang terbaik buat mereka." Kahfi membelai pipi Halwa.

---

Seorang wanita menunggu kedatangan suaminya. Aqila, wanita yang kini berumur 37 tahun sedang menunggu suami dan putranya pulang ke rumahnya.

Bara baru saja menjenguk ayah kandung dari Ikram, yang merupakan pelaku dari insiden penusukan yang akan laki-laki itu terima, namun di gagalnya oleh Faris dan Aneesha.

Ikram, merupakan seorang anak yang tak di harapkan oleh Ayahnya. Karena merasa bahwa Ikram yang membuat istrinya meninggal dunia, hingga pria yang menjadi ayahnya itu kerap kali menyiksa Ikram tanpa ampun.

Dan setelah kejadian itu, hak asu Ikram di ambil oleh Kahfi. Juga karena tak ada saudara yang mau menampung bocah laki-laki itu.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Aqila akhirnya menghela napasnya saat mendapati suami berserta anaknya yang sedang bergurau.

"Sudah pulang?"

"Sudah ummi."

Al-Zidan Shekhar, merupakan anak kedua dari Bara dan Aqila. Saat ini Zidan masih berumur 6 tahun, memiliki seorang kakak perempuan yang berumur 9 tahun.

Zidan berlari masuk ke dalam kamar, sedangkan Bara duduk di hadapan Aqila. Mereka diam tanpa pembicaraan apapun, hingga suara lembut Aqila yang menyapa indra pendengaran Bara.

"Nggak nyangka, udah 11 tahun saja mereka pergi." Aqila kerap kali tertangkap jika sedang bersedih saat memikirkan Faris dan Aneesha.

"Yaa, Allah lebih sayang mereka berdua. Ikhlas, sayang." Bara menarik Aqila dalam pelukannya.

---

Hehe selesai, tinggal 1 bab lagi😌

Living With Mas Santri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang