-

174 17 3
                                    

Dazai pergi ke atap gedung, lalu duduk di pinggir gedung. Dia tahu itu tempat yang berbahaya, tapi dia tidak pernah takut untuk mati. Matanya terfokus melihat ke bawah, dimana banyak kendaraan berlalu lalang.

.
.
.

Chuuya menghela nafas berat, mencoba fokus pada dokumen di depannya. Tapi setiap kali dia memikirkan Dazai, jantungnya berdebar kencang dan pikirannya melayang.

Setelah satu jam berkutat dengan laporan misi, Chuuya memutuskan untuk istirahat. Dia berdiri dan meregangkan tubuh sebelum menuju pintu. Saat dia melangkah ke lorong, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

.
.
.

Satu jam telah berlalu, namun Dazai masih di sana, di atap gedung dengan pikirannya yang semakin kacau. Dia lalu mendengus geli, lalu berkata. "Haruskah aku melompat dari sini?"

.
.
.

Chuuya menghentikan langkahnya, tiba-tiba waspada. Nalurinya memberitahunya bahwa sesuatu sedang terjadi, dan dia tahu dia harus menemukan Dazai. Dia mulai berlari menyusuri lorong, berusaha mencapai atap secepat mungkin. Salah satu kemungkinan dimana Dazai berada.

.
.
.

Dazai lalu berdiri dari tempat duduknya, tepat di pinggir gedung. "Tinggal satu langkah lagi."

Chuuya mencapai tangga menuju atap. Dia menerobos pintu tepat pada waktunya untuk melihat Dazai berdiri di tepi gedung.

Dazai mendengar pintu di belakangnya terbuka dengan kasar. Dia berbalik dan menemukan Chuuya disana dengan nafasnya yang terengah-engah. "Ah.. Chuuya, ya."

Chuuya berhenti sejenak, matanya menyipit ke arah Dazai. "Apa yang kau lakukan?" Dia menuntut, mengambil langkah lebih dekat dengannya. Nalurinya berteriak padanya untuk meraih Dazai dan menariknya kembali dari tepian, tapi dia menahan diri untuk saat ini.

Dazai mengangkat bahunya, "Seperti yang bisa kau lihat." Ia kembali memunggungi Chuuya.

Kemarahan Chuuya semakin berkobar karena tanggapan Dazai yang acuh tak acuh. Dia dengan cepat bergerak ke belakang Dazai dan meraih bahunya, memaksanya berbalik. Dia tidak mengatakan apa-apa, terlalu fokus untuk menjaga dirinya agar tidak kehilangan kesabaran sepenuhnya.

Dazai menatap Chuuya dengan kernyitan di dahi. "Kenapa kau terlihat sangat marah?"

"Karena kau ceroboh!" Bentak Chuuya, cengkeramannya semakin erat di bahu Dazai. "Kau bisa saja mati!" Dia menggeram, menatapnya tajam.

"Tapi itu tujuanku." Dazai mengalihkan pandangannya. "Aku benar-benar tidak ingin hidup.."

Chuuya mengikuti tatapan Dazai, merasakan rasa takut menyapu dirinya. Dia tahu apa yang dipikirkan Dazai, dan dia tidak menyukainya. "Jangan,"

Chuuya bergerak lincah, meraih Dazai dan menariknya menjauh dari tepi gedung dengan kuat. Dazai mendengus kesal, "Kau pikir apa yang sedang kau lakukan, hah?"

Cengkeraman Chuuya semakin erat, dan matanya membara karena tekad. "Aku tidak akan membiarkanmu mati." Dia menyatakan dengan tegas, menatapnya tajam.

Dazai memandangnya dengan tatapan geli, "Tapi kenapa?"

Kemarahan Chuuya berkobar lagi, tapi dia memaksa dirinya untuk mengendalikannya. "Karena," geramnya, mencondongkan tubuh mendekat sehingga tubuh mereka hampir bersentuhan. "Aku membutuhkanmu."

Dazai terkekeh, ia melingkarkan tangannya di pinggang Chuuya. "Bukankah kau bilang kau tidak percaya padaku?"

Chuuya menjadi kaku karena sentuhan Dazai, tapi dia tidak menjauh. "Aku tidak percaya padamu," akunya, suaranya serak. "Tapi aku tidak bisa kehilanganmu."

My reason to liveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang