Luki menatap nanar layar ponselnya. rentetan kalimat yang selalu menghantam hatinya sampai hancur lebur. bahkan ini akhir bulan dan dia belum mendapatkan gajinya, tapi sudah terhitung dua minggu ibunya meminta tranfer uang yang bahkan nominalnya tak sedikit. jika dikalkulasikan sudah lebih dari empat juta.
Luki tau jika gajinya tak pernah cukup. pekerjaannya belum bisa membiayai semua yang ada dirumah, jika saja Ayahnya mau menjual setengah dari sawah yang keluarganya punya, pasti tak akan seberat ini. Luki sudah berali-kali mengatakan agar ibunya berpisah saja dengan sang ayah tapi tak pernah diindahkan sama sekali.
Tak ada yang bisa dipertahankan, semuanya sudah hancur lebur. dia bahkan tak berani melihat berapa tagihan yang haru dia bayar nanti. ingin menangis pun sudah tak mampu.
"Gue harus gimana ini, gak mungkin ambil pinjaman disaat keuangan nggak stabil, gak ada pemasukan setiap harinya, ya tuhan capek banget," desahnya frustasi, dia tak punya niatan untuk meneruskan pekerjaan apapun, yan dia ingin sekarang hanya tidur dan berharap semua ini hanya mimpi.
"Eh Ki! mau nitip makan siang nggak?"
Lukita mengalihkan fokus pada salah satu rekan kerjanya, dia menatap jam dinding yang menunjukan jam istirahat makan siang, tapi mood nya sedang tak baik-baik saja, perutnya pun tak lapar sama sekali.
"Nggak dulu deh Ra, duluan aja."
"Oke, jangan skip makan siang! inget asam lambung," ujar Rara rekan kerja Lukita.
setelah kepergian Rara, Luki kembali termenung, usaha apa yang bisa dilakukan bersamaan waktu kerjanya? dia ingin memulai usaha tapi modalnya pun tak ada. ingin menangis saja setiap mengingat jika uangnya sudah habis tanpa sisa karena dikirimkan terus menerus ke sang ibu.
"Ini kalau jual diri kagak dosa jual diri juga nih gue, ahh elah kapan hamba kaya Ya Tuhan."
***
Kanaya tersenyum lega saat sesi pertama mengajarnya selesai, dia meregangkan otot-ototnya yang kaku sembari meminum kopi yang sedari tadi menemaninya. rasanya sedikit berbeda dengan kopi yang setiap hari dia minum, dia mencoba resep dari Tedjo pagi ini, ternyata tidaklah buruk, rasa pahit yang menyegarkan dengan hint sedikit manis di ujung lidah membuatnya terkejut. sepertinya resep ini akan terus dia pakai. dia tak pernah berekspektasi jika kopi dicampur gula aren beserta air kelapa membuatnya jatuh cinta. tak sepahit kopi yang biasa dia buat, ini terasa sedikit sepesial?
"Bentar lagi Lulu pulang,nanti ajak ke kafe Mas Jo ah," gumamnya sambil memperhatikan gelas tumbr kopinya. entah mengapa setiap ingin ke kafe teman laki-lakinya itu terus membuat hatinya bahagia, setiap kenangannya bersama laki-laki yang beberapa hari terakhir menemaninya mengobrol membuat suasana hatinya begitu cerah dan berseri. Bagi Kanaya bertemu Tedjo sendiri seperti keajaiban dalam hidupnya, selain Lukita, Tedjo adalah orang yang bisa menenangkannya saat dia membutuhkan dukungan, dan lucunya setiap pertemuannya dengan Tedjo berawal dari Kanaya yang sering menangis entah dalam keadaan apapun itu. laki-laki dengan tutur kata sopan dan menenangkan itu mampu membuat Kanaya tenang dan merasa aman. Apa Kanaya berlebihan? entahlah sejauh ini hanya merasakan kenyamanan yang sedikit mengganggu hatinya.
***
Di tengah kegundahan Lukita dia tak bisa menjalani harinya dengan baik, sifat buruk dalam dirinya membuatnya semakin stress, dia tak tau bagaimana melampiaskan semua kegundahan hatinya, tak tau harus cerita darimana dan kepada siapa. dia tak percaya semua orang, sangat sulit untuk mengeluarkan emosinya, bahkan untuk menangis saja tenaganya seolah tersedot habis.
Cangkir matcha di depannya bahkan tak bisa mengobati rasa sakit hatinya, entah harus sehancur apa lagi karena keadaan dan ekspektasi. seolah mendapat jalan buntu yang gelap dia tak bisa berbuat apapun. Lukita ingin menangis tapi tak tau bagaimana caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
22:22
FanfictionBagi Lukita, tidak ada waktu untuk sekadar mencintai seseorang dalam kehidupan yang pelik. tapi ternyata ada satu orang yang tanpa permisi bertamu dan enggan pergi dari hatinya. bagi Kanaya, mengejar kebahagiaan adalah suatu keharusan, maka dari itu...