ON THE TRAIN

9.7K 299 71
                                    


They're dating!

Sejak mendengarnya semalam, hanya kalimat itu yang menguasai pikiranku. They're dating, they're dating, they're dating.

Aku berusaha menikmati pemandangan di luar kereta yang akan membawaku ke Florence. Gundukan salju menutupi sebagian besar pohon-pohon pinus yang telanjang tanpa dedaunan sama sekali. Sementara langit di atas, masih belum beranjak dari warna kelabu, yang sejak tadi pagi menggantung di atas Rimini. Masih empat jam lagi sebelum kereta berhenti di stasiun Maria Santa Novello, Florence. Pikiranku akan masih penuh dengan kenapa dan bagaimana.

Sembari meluruskan kaki, aku menghela napas, sementara kereta mengurangi kecepatannya untuk berhenti di stasiun Forli. Suara orang bercakap dalam bahasa Italia mulai terdengar dan aku memutuskan untuk mengambil buku yang ada di ransel. Buku yang belum satu halaman pun terbaca olehku. The City and The Pillar karya klasik Gore Vidal adalah buku yang sudah cukup lama berada dalam daftar buku yang ingin aku baca. Namun, begitu mendapatkannya, buku itu malah terabaikan.

Ketika baru menyentuh halaman pertama yang berisi tentang pujian untuk The City and The Pillar, seorang pria dengan koper kecil berwarna biru, memberikan senyumnya, sebelum menempati tempat duduk di depanku. Tidak semua kursi terisi di gerbong aku berada, hingga keputusan pria itu untuk mengambil tempat duduk itu, agak mengherankan. Ketika mengedarkan pandangan, sebagian besar kursi-kursi itu terisi oleh orang-orang yang mengenal satu sama lain. Entah keluarga, teman, atau pasangan. Aku memang duduk sendiri dan pertanyaanku akan keputusannya untuk menempati seat di depanku, segera terlupakan ketika pria itu kembali memberikan senyumnya.

Dua senyuman dalam kurun waktu kurang dari tiga menit. Dan aku sama sekali tidak membalasnya.

Buku yang ada di tanganku, kembali menjadi fokus, sementara pandangan pria itu langsungg fokus pada tablet di pangkuannya. Dari syal biru muda bergaris hitam yang melilit leher hingga tubuhnya yang terbungkus kemeja lengan panjang hitam, shawl collar cardigan biru tua, celana bahan yang serasi dengan mendung di luar, serta jaket yang diletakannya di kursi di sebelahnya , aku menebak bahwa pria ini adalah seorang pekerja eksekutif. Atau paling tidak, salah satu dari sekian juta orang yang bekerja untuk perusahaan besar dengan jabatan mentereng. Pria berpenampilan necis memang menjadi kelemahanku. Melihat mereka dengan kemeja, dasi, jas dan celana bahan selalu bisa membuat bayanganku menjadi liar. Membayangkan tanganku melepas dasi dan kancing kemeja satu per satu...

"Such a great read."

Lamunanku tentang melepas kancing kemeja satu per satu, langsung hilang ketika pria itu membuka mulutnya untuk mengomentari buku di tanganku. Ada aksen Italia dalam suaranya, tapi tidak terlalu kental. Bahkan, artikulasinya akan bahasa Inggris cukup bagus. Mengesankan! Aku kembali menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran tidak penting itu dan menatap pria di hadapanku.

"Baru sampai halaman pertama, jadi, aku belum bisa setuju dengan apa yang kamu bilang."

Dia kembali tersenyum.

"Gore Vidal adalah salah satu penulis favoritku. Esai-esai dia sangat menarik. The City and The Pillar serta Julian adalah dua buku yang aku baca lebih dari sekali. Trust me, you're going to list that book as one of your favorites as well."

Aku mengedikkan bahu. "Maybe."

Kami terdiam sementara pria itu memasukkan tablet-nya ke tas yang ada di sebelahnya.

Dia menghela napas."I can't wait for April."

Kalimatnya itu mengejutkanku. Tidak menyangka bahwa aku akan mendengarnya mengatakan sesuatu lagi. Aku masih diam.

ONE FINE DAY (NOW AVAILABLE ON KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang