25 November, 1964. Lahirlah Rus, dari keluarga miskin di desa. Gadis kecil yang kemudian diusir oleh Ibu tanpa sehelai pun pakaian karena pertikaian orangtua. Tangisan kencang dan tatapan memohon dari gadis kecil itu tak membuat sang ibu yang berpaling menoleh kembali. Sang bapak yang sudah terbakar amarah segera pergi membawa Rus menerobos derasnya hujan yang mengguyur.Di dekapan bapak, dengan sarungnya yang basah ... kini menyelimuti tubuh ringkih itu yang menggigil kedinginan.
"Bapak, kita sekarang kemana?"
"Jangan khawatir. Bapak akan membawamu pergi bertemu ibu barumu. Ibu yang bisa merawatmu."
Kalimat Bapak yang membuat Rus menjadi tenang dan percaya. Setidaknya saat itu, sebelum kaki kecilnya menginjak rumah sederhana dengan sosok wanita seumuran ibu menanti mereka.
"Rus, ya? Ini Ibumu." Wanita itu berjongkok di hadapan Rus sambil mengelus rambut basahnya. "Harus nurut sama Ibu, ya. Kalau mau tinggal di sini?"
Kata-kata yang terkesan biasa itu ... baru Rus sadari ternyata sebuah peringatan untuknya usai benar-benar menetap di sana.
Ketika usianya menginjak lima tahun, Rus sudah terlatih dalam berkerja. Pagi buta, ia sudah bolak-balik dari sungai mengisi gentong air. Menyapu halaman rumah, dan beres-beres. Siang harinya, pergi mencari kayu bakar. Ia pulang dengan rasa lapar, dan makanan sisa dan hampir basi selalu tersedia untuknya. Tak jarang ia diajak ibu tirinya untuk bekerja di sawah. Hari-hari seperti itu, layaknya kaset rusak yang berulang. Sampai akhirnya Rus kecil yang merindukan sang ibu menangis sesenggukan.
Sedih yang sudah tak berbendung ini ... kini tak bisa lagi ia tahan. Di hadapan makanan basi yang sudah menjadi bagiannya di rumah itu, ia menangis kencang. Sang ibu tiri yang sedang menjemur hasil panen di luar acuh tak acuh dengan suaranya. Namun melihat tetangga yang penasaran dengan teriakannya, ibu mulai naik pitam.
Ia segera membanting tenggok yang ia bawa dan dengan tergesa masuk rumah. Mendapati Rus yang masih menatap makanan di meja sambil menangis, ia menyeret paksa gadis itu untuk menghadapnya.
"Dari kemarin kamu sendiri yang nggak mau makan. Sekarang nangis kayak ada orang yang ngapa-ngapain. Memang kamu pernah saya apain, ha?! Tinggal makan saja susah. Sudah dikasih makan, tidak bersyukur. Masih untung kamu saya mau rawat." Ujarnya sembari dengan kasar menyuapkan makanan ke mulut Rus. Gadis itu yang merasa tidak mau memakannya, dengan kuat menolak. Membuatnya tanpa segaja menampar jatuh makanan di tangan ibu tiri.
Melihat makanan tercecer di tanah, Rus mundur ketakutan. Ibu tiri yang habis kesabaran dengan keras menyeret lengan kurusnya ke halaman.
"Hidup sudah susah, bapakmu main judi terus! Ini anaknya malah ngelunjak tak tau diri. Mau makan aja, pilih-pilih makanan. Nggak mau makan yang udah saya siapin?!" Sang ibu tiri dengan suara nada tinggi dan wajah memerah penuh amarah dengan cepat mengambil kotoran ayam di tanah. "Nih, makan ini aja! lebih enakan, ini bukan?!" Sahutnya sembari menyuapi paksa kotoran ayam ke mulut Rus.
Melihatnya, para tetangga yang hanya menengok penasaran segera membantu menghentikan. Beberapa ibu tampak melerai. Menjauhkan ibu tiri dari Rus, dan mencoba menenangkan anak yang masih menangis histeris itu.
Bapak yang baru pulang dari sawah, segera memeluk erat tubuhnya yang masih bergetar karena muntah dan tangis. "Ini anakku. Jika kamu berani kasar lagi, kembalikan tanah dan kebun milikku yang kamu sewakan ke orang. Setelah itu, kita pisah!" mendengar ultimatum dari bapak, ibu dengan sinis segera masuk rumah. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Sesulit itukah untuk bertahan hidup untuk anak usia lima tahun? Seakan takdir masih berkata mulai saat itu, Rus kecil tak butuh waktu lama ditinggal bapak untuk selamanya. Sudah tidak ada lagi pelindungnya. Persembunyian kecil, tameng dia di depan kerasnya dunia.
Meninggalnya bapak, membuat ibu tiri bebas dalam menganiaya. Temperamennya yang kasar makin jelas terlihat, dan emosi Rus kecil makin terpendam. Selama ia bertingkah seperti anak kecil yang menangis setiap keluh kesahnya, selama itu juga ia harus mendapati berbagai macam kekerasan. Maka ia harus sembunyikan semua emosinya. ya ... jangan sampai ada yang melihat. Ia akan menurut dan bekerja dengan giat. Dengan begitu, pukulan menyakitkan itu tidak akan lagi ia dapatkan. Tidak lagi ....
Sore yang cerah, Ibu tiri menggandeng tangannya membawa ke suatu tempat. Perjalanan sangat jauh dengan jalan kaki. Namun ia terlalu takut untuk bertanya. Rus hanya diam, hingga matanya berlinang saat berada di depan rumah yang pernah ia lupakan dalam ingatan.
Ibu. Sosok yang saat ini tengah menggendong gadis kecil itu, ibu kandungnya. Apakah dia sudah memiliki adik? Air mata Rus mengalir, bersamaan tangan kecilnya yang memeluk erat pinggang sang ibu. Ia menatap takjub kepada adik kecilnya yang juga tengah melihat penasaran ke arahnya. Dengan kasar dan muka tidak suka, ibu memisahkan diri. Ia memandang sengit ke arah ibu tiri.
"Apa-apaan ini ... mau sama orangnya, tidak mau sama anaknya. Walau pria itu sudah mati, dia masih menjadi anakmu. Lagian dia meninggalkan warisan semuanya untukmu. Merawat satu anaknya saja merasa tidak mampu?! Cuih!"
"Warisan, Anjing! Untuk bisa meminjam satu kemeja bagus untuknya ke kota, dia gadaikan semua tanah dan kebunnya pada orang! Sekarang setelah mati tanah dan kebun itu tidak kembali. Mereka menolak memberikannya. Aku sudah kenyang merawat anak orang. Nih, aku kembalikan. Terserah, mau kamu kasih ke siapa. aku tak peduli!" sahutan ibu tiri sebelum pergi tanpa pamit dari sana.
Tatapan penuh kebencian ibunya, membuat Rus menunduk. Menyembunyikan air mata yang masih saja mengalir, walau ia diam. Rus akhirnya sadar ... ah, secerah apapun sore kala itu ... itu tidak akan pernah terasa hangat.
8 Januari 2023
Ibu, masih membekas dalam ingatanku ... betapa seringnya kau menceritakan kisahmu. Sejak aku kecil, hingga aku dewasa sekarang, kau mengulang kisah kehidupanmu hingga membuatku bosan karenanya.
"Ibu dulu pernah ikut ibu tiri walau sementara. Ibu masih kecil, tapi itu membekas sampai sekarang. seolah-olah itu baru saja terjadi. Kemudian--"
"Bu, aku sudah mendengarnya berulang kali sampai bosan." Kemudian aku mengeluh karena merasa sepanjang hidupku sudah merasa hapal dan mengerti semua kisah hidupnya. Mustahil aku tahu. Aku hanya mendengar, tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi dia.
Betapa sombong, dan angkuhnya diriku. Anakmu sangat bodoh,bukan? Apa sulitnya mendengar keluh kesahnya ... aku adalah satu-satunya tempat ia bercerita. Apa susahnya untuk menyimpan semua kisahnya? Padahal ia hanya ingin ada satu orang saja yang mengerti dirinya.
Ibu ... setelah kau pergi, sekarang aku tahu. Kenapa dengan wajah semingrah dan suara semangatmu, kau bercerita tentang kisah kehidupanmu seolah itu bukanlah apa-apa. Itu bukan berarti kau baik-baik saja bukan? Karena terlalu banyak luka yang kau pendam ... dan emosi yang kau simpan ... kau hanya terbiasa karenanya. Kau terbiasa ... menyembunyikan segalanya. Walau seperti itu, di hati kecilmu yang terdalam kau masih ingin dimengerti oleh seseorang melalui kisahmu.
Betapa hidupmu sangat menyedihkan selama ini, ibuku ... Rus, tersayang.
Sekarang, betapa menyesalnya diriku karena sudah kehilangan kesempatan untuk mendengarkan kisahmu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rus, Kelopakmu Sudah Hancur
RomanceIbu, Tuhan terlalu cepat memanggilmu. Padahal masih banyak kata yang belum kusampaikan, dan masih banyak hal yang ingin kita lalui bersama. Seperti angin yang berhembus, kau meniup lukaku dengan lembut dan berlalu. Kini aku sendiri lagi di dunia in...