02.

713 16 3
                                    

Aku mematikan kompor setelah sup dan ayam panggang dan sausnya matang, aku tau ayah sering tidak masak karena beliau tidak begitu memiliki banyak waktu untuk hal tersebut. Biasanya di kulkasnya selalu terdapat sisa pasta, pizza atau bahkan burger yang dikombinasikan dengan beberapa kaleng soda dan juga bir filter yang ringan. Ayah memang bukan seseorang yang begitu senang minum.

Aku membawa makanan tersebut turun menuju meja makan yang mana ayah masih sibuk berkemas untuk besok karena penerbangan menuju afrika itu besok.

"Yah?" Ayah yang sedang menunduk dan menjejalkan salah satu kameranya kini menatap kearahku seperti terpaksa. Bukan apa-apa, kalian semua pasti begitu ketika sibuk namun dipanggil oleh orang lain.

"Makan malam sudah siap." Aku memanggil seraya menata makanan yang baru saja kumasak dan bersamaan dengan alat makan tentu saja.

"Owh okay, aku akan segera kesana." Ucapnya singkat sembari dengan menata beberapa tas besar secepat kilat dan mulai bergerak mencuci tangan. Aku tentu saja masih menata.

"Bagaimana? Sudah berapa persen?" Aku membuka poercakapan seraya masih menata dan ayah sudah mengambil tempat duduk diseberangku.

"Sudah hampir Sembilan puluh." Aku mengerutkan dahi seraya mengambil tempat duduk juga setelah menarik kursi meja makan,

"Sembilan puluh, berarti sekitar delapan puluhan?" Ayah menaikan alisnya dan tersenyum takjub bercampur heran. Aku hanya bingung menatapnya. Ayah kembali menyesap kaleng birnya lalu menggerang.

"Aku hampir lupa kau anakku." Oke, itu tidak lucu ayah. "Tentu saja kau pasti sudah lebih pintar dan cerdas. Kebanyakan orang bahkan teman-teman ayah akan menganggap itu hampir seratus persen." Aku hanya mengangguk dan mengambil lauk karena mulai mengerti maksud ayah.

"Ahh, mereka hanya akan melihat angka Sembilan puluh. Hampir seratus persen mereka pasti menganggap sempurna karena ada angka seratus yang sebenarnya belum pasti." Ayah hanya mengangguk dan mengangkat gelasnya guna menyetujui.

Ayah dan aku memiliki banyak kesamaan, termasuk kecintaan kami terhadap tanaman dan hewan. Tetapi aku pemalas, itu sedikit lebih mirip ibu. Aku tidak menyukai keramaian, itulah sebabnya aku memiliki banyak koleksi tanaman dari membeli alih-alih pergi mengarungi dunia untuk menelitinya. Tetapi otak dan hobi ku banyak menurun dari ayah.

"Bagaimana kabar ibu?" Ayah melanjutkan percakapan setelah melahap sesendok besar supnya.

"Sebaik yang bisa diharapkan." Aku hanya menjawab singkat. Aku tau ayah semacam tidak menunjukan tanda terganggu setiap aku berbicara hal tentang ibu atau ia yang menanyakan sendiri tentang ibu, tetapi aku sudah dewasa, setidaknya sudah besar, aku pasti tau ada rasa yang disembunyikan. Semakin tua, kita semakin pandai menyembunyikan rasa itu untuk ditunjukan.

"Ia Nampak lebih bersinar." Ayah, kumohon jangan lagi, kau tidak perlu menyiksa dirimu.

"Yeah?" Oke, aku rasa, berpura-pura bingung adalah pilihan yang hebat.

"Kulitnya lebih bersinar." Astaga, aku nyaris terbatuk karena apa yang ayah bicarakan. Ia memerhatikan ibu dari kulitnya? Astaga, tidak bisakah ia menjadi lebih sedikit err, berbohong? Maksudku, memuji kulit seseorang, itu benar-benar buruk karena kita menunjukan seberapa detail kita memerhatikan orang tersebut.

"Eoh- euh- y-yeah, aku rasa begitu, ia banyak mengikuti tren belakangan ini." Aku harap ayah tidak akan mengungkit-ungkit lagi.

"Hmm?" Ayah kembali menyesap birnya. "Sepertinya si Phill itu membuat jiwanya kembali muda." Aku hanya tertawa kering dan kikuk tidak begitu yakin bagaimana merespon ini. Benar-benar beda dari empat tahun yang lalu karena waktu itu aku belum begitu dewasa dan mengerti.

Full Moon : The Ape-manTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang