03

4 1 0
                                    

Semua lukisan selesai kutata rapi, aku menatapnya senang. Aku mengeluarkan kanvas putih yang belum tercoret apa pun, menyiapkan beberapa senjata melukisku, lalu menatap sekitar. Atensiku jatuh pada seekor burung merpati yang berdiam diri di atas lampu jalanan, mungkin sama sepertiku, bosan menatap orang-orang yang sibuk lalu-lalang. Aku segera mengambil ponsel di saku, memotret modelku itu dengan cepat. Takut-takut ia pergi sebelum aku mengingat betul bagaimana bentuk dan keadaan di sekitarnya.

Aku mulai mengeluarkan beberapa warna ke atas palet, tangan kiriku mulai menari-nari di atas kanvas sekarang. Orang-orang yang sibuk berjalan tadi beberapa berhenti untuk sekedar memperhatikanku yang sibuk berkutat dengan kanvas. Ada yang hanya melihat, menanyakan harga lukisan yang kujual, dan ada juga yang langsung membelinya tanpa menanyakan harga.

Lukisan yang sedari tadi kukerjakan sudah hampir selesai, hanya tinggal menambahkan beberapa detail manis. 

Seorang anak laki-laki yang terlihat bukan seperti warga lokal berlari menghampiriku, menatap tanganku yang bergerak-gerak di atas kanvas dengan bola mata yang membesar.

"You are so cool!" ucapnya tertahan. Menahan untuk tidak teriak. Aku menolehkan wajahku sambil tersenyum.

"Hey, you too." balasku memperhatikan wajahnya yang kini menatapku.

"You draw this with your left hand! I can't draw perfectly even with my right hand."

"Don't say that, do you want to try this?" tanyaku.

Mimiknya berubah, seolah bertanya "Can I?" yang aku jawab dengan anggukan. Aku menyerahkan kuasku pada tangan kecilnya yang ia sambut dengan senang hati, pelan-pelan aku menuntun tangannya untuk memberikan detail-detail manis yang kumaksud tadi. Senyuman terukir indah di wajahnya, semakin terlihat indah saat aku mengatakan "Well done!" padanya.

Ia menatap hasilnya dengan bangga, sedikit tidak percaya bahwa ia berkontribusi dalam lukisan tersebut.

"See. You can do this, right?" entah mengapa senyumanku juga semakin melebar saat memperhatikannya.

"Um! I want to learn how to draw, so I can be cool as you!" aku sedikit terkekeh dibuatnya. Aku yang sedang membalas celotehannya tidak menyadari bahwa Ibu anak itu datang menghampiri, setelah berdiam diri sekian menit memperhatikan anak laki-lakinya bersamaku.

"Yohan, do you want this painting?" tanya Ibunya yang membuat kepala anak laki-laki itu menoleh dengan cepat.

Ah, namanya Yohan. Ucapku dalam hati.

"Is it possible? We can take this to our home?" ia balik bertanya, nada suaranya terdengar amat senang, walaupun ada sedikit keraguan.

"We can, honey. We can buy this if you want to." 

Wanita itu tersenyum sangat manis. Aku yang sedari tadi memperhatikan mereka dalam diam sedikit terlena, senyuman mereka berdua terlihat seperti sepasang jepit rambut dengan model yang sama. Sangat mirip.

"I want it! I want to keep this in my room, Ma."

Ibu anak itu mengangguk, lalu bertanya berapa harga lukisan ini padaku. Aku hanya menggeleng, lalu membiarkan anak itu membawa lukisannya. Senyum bahagia anak itu rasanya sangat cukup untuk membayar harga lukisan ini, pikirku.

"Be careful when you carrying it, the paint is still a little wet. See you, Yohan." Kataku saat ia memegang lukisan itu. Yohan mengangguk dengan brutal, masih dengan senyum di wajahnya.

"See you too, cool painter!" balasnya dengan semangat. Ia melambaikan tangannya padaku dan meminta Ibunya untuk membawa lukisan itu, khawatir akan rusak jika dirinya yang membawa sampai ke tujuan mereka.

Hari semakin menggelap, awan yang tadinya terlihat putih bersih kini sudah berubah warna menjadi abu-abu kusam. Tidak bisa kupungkiri, apa pun warnanya, mereka masih tetap terlihat lembut. Seperti permen kapas. Bibi Ahn meletakkan roti ke atas mejaku, lalu beringsut duduk setelah melayani beberapa pelanggan yang mengantre.

"Bibi, aku sudah bilang tidak usah memberiku roti gratis seperti ini...." pintaku sedikit memohon.

"Siapa yang ingin memberimu roti gratis? Aku hanya ingin memberimu hadiah atas kerja kerasmu hari ini." Bibi Ahn menolehkan pandangannya keluar dinding kaca, menatap orang-orang di luar sana yang semakin ramai berlalu-lalang. Tetapi kali ini ditemani dengan ribuan lampu yang menyala, menghiasi kota yang rasanya tidak pernah tidur ini.

"Omong-omong, kau hanya membawa tiga lukisan yang sudah jadi dan melukis satu lukisan baru hari ini. Biasanya kau membawa lima sampai enam lukisan jadi. Ada apa?"

Tatapanku ikut jatuh keluar dinding kaca, mengikuti arah pandang Bibi Ahn.

"Tidak ada alasan yang serius, Bi. Aku hanya sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahku, seperti yang kau tahu aku sudah di semester akhir, dan tugasku sudah dipastikan semakin banyak. Aku tidak terlalu memiliki banyak waktu untuk melukis sebetulnya. Tetapi aku tidak bisa hidup tanpa melukis, rasanya seperti tercekik perasaan sendiri jika aku tidak mengekspresikan perasaanku pada lukisan," aku kembali menatap Bibi Ahn yang kini balas menatapku. "Asal Bibi tahu, ini saja aku mencuri-curi waktu free timeku untuk menjual lukisan hari ini." Aku tertawa kecil, Bibi Ahn mengangguk-angguk paham mendengar celotehanku.

"Terkadang aku juga merasa seperti itu, rasanya aneh jika aku tidak membuat kue dan meninju-ninju adonanku. Ah.... Pria berkamera itu tidak datang ya hari ini? Aku tidak melihatnya saat kau di luar tadi."

Aku mengerutkan keningku bingung. Pria? Pria berkamera? Tidak datang? Oh! Aku ingat. Pria dengan kamera di tangannya yang jika kuhitung, sudah sebulan belakangan ia selalu mampir untuk membeli beberapa lukisanku. Jujur awalnya aku sedikit takut pada orang itu. 

Karena, Hei! Dia selalu datang menghampiriku tanpa mengucap satu patah kata pun! 

Ia langsung menunjuk satu atau dua lukisanku dan langsung membayar dengan nominal yang bisa kubilang terlalu berlebihan untuk sebuah lukisanku ini. Ditambah pakaiannya yang serba hitam dengan masker dan topi yang menutupi seluruh wajah. Kecuali matanya.

"Ah, Bibi benar. Pria itu tidak datang hari ini, entahlah. Mungkin ia sudah bosan untuk melihat-lihat atau membeli lukisanku." Balasku tidak ambil pusing dengan pria itu. Bibi Ahn yang mendengar responku menatap dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan, aku tidak mengerti maksudnya apa. 

SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang