17. Sadarku tak Berhak

153 48 44
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihihi

***

Niat awal Rinai, ia hanya akan satu dua jam di hotel tempat Ariel beristirahat, nyatanya Ariel menahan kepergian Rinai dengan alasan dirinya minta bantuan perempuan itu ketika mengedit beberapa foto klien.

"Gue nggak bawa duit, nanti gue tf bayaran lo hari ini jadi kang kritik hasil editan gue, ya," ucap Ariel ketika pekerjaannya sudah selesai.

"Apaan, sih, Kak. Aku nggak minta bayaran, kok. Seneng aku kalau emang bisa bantuin Kak Ariel. Tapi, semua editan foto Kak Ariel bagus. Padahal sebelum diedit juga udah cakep banget, asli," kata Rinai tulus memuji hasil pekerjaan Ariel.

"Roman-romannya ada yang minta bayaran lebih, sih, ini," kelakar Ariel lantas tertawa membuat Rinai memukul bahunya.

"Ih, Kak Ariel. Nggak gitu, Kak!" seru Rinai terus saja menghantam bahu Ariel, yang dihantam malah kian keras tertawa. Mereka masih duduk di sofa yang sama seperti tadi.

Sampai akhirnya, dering ponsel Ariel mengalihkan atensi keduanya. Ariel cukup bingung, siapa yang meneleponnya. Pria itu lantas beranjak dari sofa dan mengambil ponsel yang ada di tempat tidur.

"Kania," gumam Ariel sambil melihat ke arah Rinai.

Perempuan itu sedang merapikan cangkir kotor bekas mereka minum teh tarik. Ariel lihat, bibir Rinai mengulas senyum, entah perempuan itu sedang memikirkan apa.

Mengabaikan panggilan suara dari Kania, Ariel buat saja ponselnya menjadi mode hening. Pria itu melempar benda pipih nan canggihnya ke tengah kasur lalu dirinya mengekor langkah Rinai menuju wastafel.

"Nggak usah dicuci, Ri. Nanti juga ada petugas yang ganti cangkirnya sama yang baru dan bersih," seru Ariel ketika melihat Rinai hendak membawa benda-benda tersebut ke wastafel.

"Iya, Kak. Abis ini, aku balik ke kosan Kak Raisa, ya, Kak? Boleh, nggak?" Rinai balas menyeru, langkahnya yang hendak menuju wastafel jadi berpindah ke arah meja di mana teko listrik dan beberapa sachet minuman instan ada di sana.

"Iya, balik aja ke sana. Tapi, temenin gue beli oleh-oleh dulu buat mamah. Bisa, kan?"

"Iya, Kak, ayo. Kita jalan sekarang aja, bisa?"

"Gue mandi dulu, nggak apa, kan?"

Rasanya baru kali ini, Ariel melakukan sesuatu harus bertanya dulu pada orang lain. Mungkin karena terdistraksi oleh kelakuan Rinai yang apa-apa juga selalu izin pada Ariel.

"Kak, buruan mandi. Nanti aku ambilin bajunya," ucap Rinai membuat lamunan Ariel buyar.

Pria itu pun mengangguk, ia lekas melesat ke kamar mandi. Senyumannya samar tercipta ketika berdiri di bawah shower yang menyala.

Rumah tangga kayak main rumah-rumahan. Mama papahan persis waktu gue kecil dulu.

Kembali ke kamar, Ariel lihat baju bersihnya sudah tersedia rapi di bibir tempat tidur. Kecuali pakaian dalam, Rinai sepertinya masih canggung bersentuhan dengan benda keramat milik Ariel. Ariel ambil pakaiannya, lalu sekilas melihat ke arah Rinai yang tampak sedang duduk di sofa sambil bersenandung. Pada salah satu telinganya terpasang airbuds.

Itu juga cara sederhana nikmatin hidup, Ri. Lo kudu bahagia sebelum berusaha bikin orang lain bahagia.

Dengan cepat memakai bajunya di kamar mandi, setelah selesai Ariel lantas mengajak Rinai meninggalkan hotel. Keduanya sepakat berbelanja di toko oleh-oleh yang ada di sekitaran hotel saja.

Membeli beberapa bungkus keripik buah dan strudle apel khas kota tersebut, Rinai menyarankan Ariel membeli kaos juga untuk Danish di toko sovenir.

"Nggak usah, dia alergi pake kaos gituan. Biasa pake baju distro dia, mah," tolak Ariel tak setuju.

"Gue beliin elo ini aja, ya," ujar Ariel menunjuk sebuah topeng di toko sovenir tersebut. Pria itu lantas memanggil sang penjaga toko, ingin tahu topeng yang dipegangnya itu bernama apa.

"Ini topeng terlaris, diambil dari karakter Dewi sekartaji," ucap si penjaga toko.

Ariel dan Rinai sama-sama melihat ke arah topeng yang ditunjuk oleh Ariel tadi. Topeng wajah itu memiliki alis berbentuk nanggal sepisan, hidungnya mancung dan terdapat titik emas di antara alisnya.

"Wajahnya yang berwarna putih melambangkan kemurnian, kelembutan, dan kebaikan hatinya Dewi Sekartaji," jelas si penjaga toko lagi.

"Lo mau nggak, Ri? Cocok, nih, karakternya sama lo. Terlalu baik jadi orang," celetuk Ariel membuat Rinai setuju Ariel membelikannya topeng tersebut.

Dirasa cukup membeli buah tangan untuk keluarga dan kawan-kawannya, Ariel mengajak Rinai makan lagi. Iya makan lagi, sebab sebetulnya tadi mereka sudah jajan juga sebelum berburu oleh-oleh.

"Mau bawain apa gitu buat kakak lo?" tanya Ariel sebelum mengantarkan Rinai ke indekos Raisa.

"Kak Raisa lagi nggak pengen apa-apa katanya, Kak. Cuman pengen diusap-usap punggungnya," ujar Rinai memberikan informasi sesuai yang ia dapat dari chat Raisa barusan.

"Hadeuh, minta usapin sana ke cowok yang hamilin dia. Heran, lo terlalu baik jadi orang, Ri."

Ariel geleng-geleng tak mengerti, meski Rinai tak setuju dengan ucapan Ariel. Rinai sama sekali tidak sebaik itu.

"Kalau aku memang baik kayak yang Kak Ariel bilang, aku nggak bakal jebak Kak Ariel dalam keadaan ini, Kak. Aku justru jahat, manfaatin orang lain demi kepentingan aku, Kak. Di mana letak kebaikan aku, coba Kakak pikir?"

Rinai bicara dengan suara pelan tertahan. Kerongkongannya terasa kering dan cepat-cepat ia sesap syrup apelnya.

"Ah, udah, ah. Males gue bahas hal-hal serius kayak gini. Kita pergi sekarang, yuk!"

Ariel berdiri dari kursi tempatnya duduk diikuti Rinai melakukan hal sama. Mereka meninggalkan tempat makan di pinggir jalan itu untuk menuju indekos Raisa.

Esoknya, sesuai kesepakatan dengan Rinai bahwa siang ini mereka akan pulang ke Jakarta, Ariel datang ke indekos Raisa tepat pukul 10.00. Rinai masih mandi ketika Ariel tiba.

"Sungkem lo sama Rinai, dia rela jadi kambing hitam demi nyelamatin nama baik lo di hadapan orang tua kalian," kata Ariel pada Raisa dengan sangat berani.

"Thanks udah mau bantu ade gue," sahut Raisa sungguh-sungguh. Dirinya dan Ariel mengobrol di depan pintu indekos, keduanya duduk pada bangku panjang.

"Ngomong sana ke Rinai, bukan ke gue." Ariel tak bisa santai bicara dengan Raisa.

Belum Raisa menjawab, Rinai dari kamar memanggil Raisa. Ia menanyakan handuk kecil pada sang kakak.

Menunggu Rinai bersiap sekitar 30 menit, Ariel mendapati Kania mengirim dirinya pesan. Perempuan itu kembali membuat Ariel panik.

Kania

[Ariel, ini Tante Wiwit mamanya Kania. Tante mau ngabarin kalau Kania masuk RS lagi. Bisa ke sini, kan, Riel?]

"Sorry, Kak lama. Kita jalan sekarang, yuk?" ujar Rinai dengan nada riang. Seharian dengan Ariel kemarin membuat hati Rinai merasakan kebahagiaan yang berkepanjangan.

"Iya emang harus jalan sekarang. Kania masuk RS lagi. Kita harus cepet-cepet sampe Jakarta!" seru Ariel membuat Rinai lekas melihat ke arah Raisa. Raisa sendiri melihat sorot mata Rinai itu menyiratkan sebuah arti, kayaknya Rinai suka sama Ariel.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang