Babak Kedua: Bersama-sama (2)

1.6K 251 27
                                    

Oktober 2019

"God, please let Ghiani stay with me for as long as possible. Even if she doesn't fall for me, at least let us be someone who can't be apart from each other. I like her. I like her so much, that I can't imagine if one day one of us walk away from each other's life. I want her. I want her all for me. I want her to only pay attention to me. I want her so bad, that I have never been so obsessed with someone because of her kindness, and the way she cares for me. Please, God. Please. I know she is the one."

Sekiranya itu yang menjadi permohonan Noah enam bulan yang lalu saat meminta Ghiani untuk menjadi pacarnya.

Sebelum Noah meniup lilin di hadapannya, Noah memanjatkan doa—atau lebih tepatnya, paksaan pada Tuhan, karena dia sudah tidak tahu jalan mana lagi yang harus dia ambil untuk mendapatkan hati Ghiani, selain jalan lewat jalur langit.

Noah bukan orang yang religius, dan dia akui, setidaknya setelah bertahun-tahun, itu adalah momen pertama dia mengingat Tuhan lagi karena dia sudah putus asa. Ghiani tidak mudah jatuh padanya seperti perempuan lain, sehingga yang ada di pikirannya hanya; Ghiani tidak mungkin menerima perasaan Noah kecuali Noah mati—dan tidak ada alasan lain selain karena kasihan.

Tapi itu enam bulan yang lalu, saat Noah masih desperate dan tidak begitu percaya diri soal 'apakah dia bisa mendapatkan hati Ghiani atau tidak?'.

Sekarang sudah beda cerita. Ghiani sudah jatuh ke padanya, dan Noah rasa tidak ada lagi hal dia inginkan saat ini selain bisa bersama dengan Ghiani untuk waktu yang sangat lama.

Impresi mereka pada satu sama lain mungkin bukanlah yang terbaik, tapi Noah ingat bagaimana beberapa hari setelah insiden pertengkaran mereka karena masalah yang sepele, Noah mulai membuka hatinya untuk Ghiani.

Melihat bagaimana gadis itu selalu terlihat ambisius terhadap apapun yang ada di sekitarnya, membuat Noah berpikir, Ghiani setidaknya akan tahu cara yang benar tentang hidup bersosial layaknya anak seusianya.

Dugaan Noah benar. Meski perlu sedikit ancaman tentang 'membawa kasus mereka ke jalur hukum', Ghiani cukup sabar menghadapi Noah meski Noah tahu sikapnya lumayan menyebalkan. Bagaimana gadis itu akan selalu menuruti permintaan Noah, dan menjawab semua rasa penasaran Noah, membuatnya sedikit demi sedikit memberikan kepercayaan yang besar pada Ghiani.

Selama ada Ghiani, sepertinya semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya itu yang ada di pikiran Noah setelah satu bulan mengenal Ghiani secara intens.

Ghiani sebenarnya bukan tipikal orang yang tempramen, dia hanya sering marah-marah pada Noah, karena Noah pun, kalau berhadapan dengan orang seperti dirinya, dia yakin reaksinya tidak akan jauh seperti bagaimana Ghiani memperlakukannya.

Noah menyebutnya 'perlakuan istimewa' meski Ghiani pernah hampir meludah padanya saat Noah bilang kalau sikap Ghiani padanya adalah bentuk dari keistimewaan hubungan mereka.

Kalau ditanya bagaimana Noah bisa betah menempeli Ghiani selama berbulan-bulan, sampai akhirnya dia memiliki keberanian untuk mengajak gadis itu berpacaran, Noah akan menjawab lantang kalau; jatuh cinta pada Ghiani Maarisha adalah hal termudah dalam hidupnya.

Tidak seperti ketika dia belajar modelling dan acting, semuanya dia dapatkan karena bekal ilmu dan latihan keras selama bertahun-tahun hingga dia bisa ada di posisi yang sekarang.

Tapi mencintai Ghiani tidak perlu belajar; semuanya berjalan begitu saja, dengan mudahnya, dan tanpa perantara ilmu.

He just fell for her.

Mungkin Ghiani tidak sadar, atau mungkin juga karena apapun yang dia lakukan, itu hanya kebiasaan yang sering dia lakukan di kehidupan sehari-harinya.

Gadis itu terlalu perhatian. Terlalu memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya, terlalu peduli dan menomorsatukan Noah—padahal jelas-jelas dia tidak suka pada Noah—, dan terlalu memikirkan perasaan Noah di atas segalanya.

Dalam Tiga BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang