"Humaira, ayo tes lagi!" seru Faris sembari menarik tangan Aneesha dan meletakkan testpeck itu ke telapak tangan istrinya.
Aneesha menggeleng, "Gak mau, Habibi!" tolak Aneesha, dia membuant alat itu ke atas kasur.
Faris menghela napasnya pelan, dia tak mungkin memaksa istrinya. Walaupun dia percaya dengan hatinya jika istrinya itu sudah hamil. Namun, Aneesha sendiri tak ingin mengetahuinya. Aneesha takut akan kecewa nantinya.
Sebenarnya jika hasilnya negatif juga Faris tak masalah, bukankah mereka berdua masih baru 2 bulan menikah? Pernikahan mereka saja masih seumur biji jagung. Bahkan mertua Faris— Kahfi dan Halwa, harus menunggu selama 8 bulan untuk bertemu dengan Aneesha yang saat itu masih berada di dalam perut Halwa.
"Yaudah iya, gak usah di pake," balas Faris dengan lembut.
Faris berjalan ke meja rias milik Aneesha dan membuka lacinya. Dia meletakkan testpeck itu di sana. Barang kali jika istrinya itu membutuhkannya, maka tak harus susah susah mencarinya.
"Dah tuh, aku simpan lagi," ucap Faris, dia duduk di samping Aneesha dan mengambil ponselnya.
"Huft, syukurlah." Helaan nafas itu terdengar dari mulut Aneesha, Faris menoleh dan mengernyitkan keningnya.
"Kenapa emangnya? Apa yang kamu takutkan, Humaira?" tanya Faris penasaran.
Aneesha terdiam, tak menjawab pertanyaan Faris. Sedangkan Faris sendiri, dia mencuri pandang ke arah Aneesha.
"Ya udah gak usah di pikirin, Yang." Faris memeluk tubuh Aneesha.
"Ihh tau ah, sebel!" pekik Aneesha, meraup wajahnya dengan kasar.
Faris yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya, istrinya akhir akhir ini sudah marah marah padanya.
---
Adzan Isya berkumandang, Faris dengan cepat membangunkan Aneesha yang tertidur pulas selesai melaksanakan sholat magrib. Faris menepuk-nepuk pipi Aneesha, berharap istrinya cepat bangun dari tidurnya.
Nihil, sampai sekarang istrinya justru mengeluarkan dengkuran kasar dan membuat Faris melongo. Bisa bisanya istrinya makin terlelap, padahal sedari tadi dirinya sudah berusaha untuk membangunkannya.
"Humaira bangun." Faris berbisik lembut di telinga Aneesha, membuat istrinya menggeliat kecil.
"Bangun, Sayang?" Faris terus saja mengguncang tubuh kecil istrinya.
"Paris apaan sih!" Aneesha yang setengah sadar justru mendorong Faris, hingga membuat laki-laki itu sedikit terjungkal ke belakang.
"Astaghfirullahalazim, bangunin orang udah kaya bangunin kebo."
Faris menggelengkan kepalanya. "Apa yang ente biarin, Ris? Istri sendiri di bilang kebo," ucap Faris sembari menepuk-nepuk mulutnya pelan.
Dia menggendong tubuh Aneesha, membuat wanita itu memekik kaget. Aneesha refleks melingkar tangannya pada leher Faris dan menenggelamkan kepalanya.
"Tumben takut? Biasanya juga manjat pohon," bisik Faris.
Aneesha mendongak, dia memukul dada Faris dengan sedikit keras. Yang di pukul pun sudah mengaduh kesakitan, tetapi Aneesha tak ingin berhenti. Seolah kesetanan, Aneesha meneruskan memukuli dada Faris.
"Kaget tau, Habibi!" sentak Aneesha, dia turun dari gendongan Faris.
"Maaf ya? Kamu sih di bangunin kok malah ngedorong, eh itu udah jadi kebiasaan kamu ya? Aku lupa, Humaira," ucap Faris menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Faris melangkah pergi meninggalkan Aneesha sendirian di kamar mandi. Setelah Faris keluar, barulah Aneesha membersihkan diri dan mengambil wudhu untuknya. Aneesha keluar dan di gantikan oleh Faris yang masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Aneesha menata sajadah miliknya dan milik Faris, sembari menunggu suaminya keluar dari kamar mandi.
Faris tersenyum kecil menatap ke arah sajadahnya yang tersusun rapi. Meski istrinya masih terlihat kesal dengannya, tetapi tak sedikit pun melupakan kewajibannya.
"Terima kasih."
Faris segera menyesuaikan diri di hadapan Aneesha untuk memulai sholat, begitu juga Aneesha. Dia juga menyesuaikan gerakan suaminya.
Setelah sholat, Faris langsung menghadapa ke istrinya. Dia mengambil Al-Qur'an yang berada di dekat tubuhnya. Faris membukanya dan tubuh Aneesha langsung menegang.
Sudah menjadi makanan sehari-hari, tetapi entah mengapa Aneesha selalu takut jika harus berhadapan langsung dengan Faris. Aneesha maju sedikit agar tubuhnya tak terlalu jauh dari tubuh suaminya.
"Ihh kok hafalan terus!" seru Aneesha ketika Faris menyodorkan Al-Qur'an.
"Hari ini yang ini kan?" tanya Faris dengan santai, tanpa mempedulikan Aneesha yang sudah menatap kesal dirinya.
"Eum, iya mungkin?" Aneesha justru berusaha mengelak, dia menggembungkan pipinya sendiri.
"Humaira, kemarin halaman 41, kan? Sekarang berarti 42." Faris memaksa Aneesha untuk membacanya. Dia menarik kembali Al-Qur'an itu, agar Aneesha tak dapat menconteknya.
Sedangkan Aneesha pasrah, dia membaca dengan lantang agar Faris mendengarnya dan tak menyuruhnya untuk mengulang kembali seperti hari hari sebelumnya. Faris tersenyum mendengarnya, meski ada beberapa kali kesalahan dalam pengucapan Aneesha. Namun, Faris dengan lembut membenarkan pengucapan Aneesha.
---
Aneesha merebahkan di atas kasur, tak memperdulikan Faris yang menatap dirinya. Aneesha sudah lelah, beberapa menit yang lalu sungguh menyiksa dirinya.
Dia menyelesaikan hapalannya dalam kurun waktu 27 menit, Aneesha langsung merasa lapar di buatnya. Dia menunggu Faris yang katanya ingin keluar untuk mencari makan.
"Mau makan apa?" tanya Faris, dia memakai jaket agar tak kena angin malam yang terasa dingin.
"Nasi goreng aja." Aneesha menjawab dengan posisi yang sama, dia juga malas meski hanya untuk sekedar melirik suaminya.
Tubuh dan pikirannya seolah membutuhkan ketenangan, dia memejamkan matanya. Faris yang melihatnya, hanya bisa menghela napasnya dan menggelengkan kepala.
"Nasi goreng pedes!" seru Aneesha yang dapat menghentikan langkah kaki Faris.
Faris membalikkan tubuhnya, kembali menghadap ke arah istrinya. Dia menatap datar ke arah Aneesha, sedangkan yang di tatap justru seolah merasa tak bersalah sama sekali.
"Gak! Tadi pagi aja muntah mulu, sekarang minta yang pedes. Gak boleh!" tolak Faris, dia segera pergi dari sana sebelum Aneesha kembali merengek.
Melihat suaminya pergi begitu saja membuat dirinya berdecak pelan. Dirinya hanya ingin pedas, kenapa suaminya selalu tak memperbolehkan diriya.
"Ihh ya udahlah!" Aneesha yang merasa sebal, kini mengambil ponselnya dan berusaha untuk mengubungi Cindy.
"Halo, Cin?" sapa Aneesha ketika panggilan suaranya di angkat.
"Kenapa, Nes? Tumben banget nelpon malem malem gini?" tanya Cindy heran dari seberang sana.
"Ihh pokoknya aku sebel sama dia." Aneesha mengerucutkan bibirnya, seolah Cindy melihat ke arahnya. Padahal Cindy tak dapat melihatnya, karena Aneesha hanya melakukan panggilan suara dan bukan panggilan video.
"Kenapa lagi Nes? Hafalan lagi?" tanya Cindy lagi, sekolah mengerti dengan keluh Aneesha.
"Hmm, dia menyebalkan. Masa iya di suruh hafalin 3 ayat surah Al Baqarah sih?" keluh Aneesha.
Cindy terkekeh, "Udah nasib kamu, salah siapa pengen jadi istrinya ustadz berkedok santri itu, heh?" tanya Cindy dengan santai.
Aneesha semakin kesal mendengar ledekan dari Cindy, sehingga dia segera menutup panggilan suaranya secara sepihak.
Aneesha melemparkannya ponselnya ke kasur bagian lain yang saat ini menopang tubuhnya. Aneesha memejamkan matanya, berusaha menghilangkan rasa kesal di dalam hatinya.
"Semua orang saja aja!"
---
Apa kabar?
Dah lama gak munculin anakku yang satu ini.
Bye, See you next bab!
KAMU SEDANG MEMBACA
Living With Mas Santri [END]
Teen FictionDI MOHON UNTUK MEMBACA SEASON 1 NYA TERLEBIH DAHULU, KARENA ADA BEBERAPA TOKOH YANG MEMANG DARI SEASON 1! Aneesha Ayu Dira, Perempuan muda yang mencintai seorang santri. Perjuangannya selama ini tak sia-sia, santri itu membalas perasaannya dan hing...