1. Kemana kita Meneduh?

67 19 84
                                    

"Pokoknya kalian harus segera pergi dari tempat ini! Saya nggak peduli kalian mau kemana, bukan urusan saya! Yang jelas kalian tidak boleh lagi tinggal disini!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pokoknya kalian harus segera pergi dari tempat ini! Saya nggak peduli kalian mau kemana, bukan urusan saya! Yang jelas kalian tidak boleh lagi tinggal disini!"

Hardiyata memeluk adik perempuannya dengan erat, lelaki berusia dua puluh tahun itu berupaya memohon kepada kedua rentenir yang sedang menatap garang kepada mereka. Hardiyata tak mampu membayar hutang mendiang orangtuanya dulu. Jumlahnya yang terlalu banyak, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya saja tak tercukupi, apalagi jika harus membayar hutang.

"Saya mohon pak, tolong beri waktu sedikit saja, saya janji akan membayar utang-utangnya." Mohon Hardiyata dengan suara merendah. Kedua rentenir itu tak kenal rasa iba, mereka juga dibayar untuk menagih hutang, dan mengusir orang-orang yang telat membayar hutang kepada bos mereka.

"Makanya, kalau sudah tau miskin, jangan berlagak mau utang!" Hardik pria berkepala plontos tersebut. "Pokoknya pergi dari tempat ini sekarang juga! Atau nggak kami seret kalian berdua!" Sambung temannya yang berambut gondrong.

"T-tolong jangan sekarang pak ... Ini sudah malam mau kemana kami tinggal?" Sekarang gantian Ayudia yang memohon. Gadis itu menggenggam erat koper tempat barang-barangnya.

"Aaah, saya nggak peduli! Cepat pergi sebelum kami ngusir kalian pake kekerasan!"

Terpaksa Hardiyata membawa adiknya pergi dari rumah mereka. Ia merangkul pundak Ayudia sembari tangannya membawa tas besar yang berisikan baju-baju dan barang-barang penting bagi mereka.

Malam terasa begitu dingin, anginnya menusuk permukaan kulit. Bulan enggan menunjukkan diri, bintang-bintang juga seolah hilang dan redup ditelan kegelapan. Ayudia dan Hardiyata bungkam menyusuri jalanan ibukota Jakarta yang masih ramai kendaraan. pikiran mereka berkelana tanpa arah.

Tapi, ada satu pertanyaan yang sama-sama melekat dipikiran mereka.

Kemana mereka akan meneduh?

Rintik-rintik hujan satu-persatu menusuk kulit Ayudia, "hujan, bang. Kita harus kemana?" Tanya gadis itu kepada sang abang. Hardiyata berpikir, jujur, dirinya juga bingung harus kemana. Tiada sanak saudara disini. Semenjak kepergian orangtua mereka, kerabat dan sepupu mereka seolah ikut hilang enggan menampakkan diri. Bahkan, Hardiyata tak pernah mendengar kabar mereka sekalipun.

Hujan tiba-tiba saja mengguyur bumi dengan deras. Hardiyata spontan menutup kepala adiknya dengan kedua tangannya. "Meneduh disana aja, dek!" Hardiyata membawa Ayudia kearah pohon rindang yang banyak juga orang meneduh disana.

Ayudia berjongkok dibawah pohon rindang, sedangkan Hardiyata tetap berdiri sembari memandang Jakarta yang telah diguyur hujan. Udara dingin menusuk kulit, apalagi pakaian yang mereka kenakan sudah separuh basah. Hardiyata menoleh kebawah menatap Ayudia, remaja itu tampak memeluk lututnya karena kedinginan.

Ayudia 1987Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang