3. Arti Keluarga

24 2 2
                                    

Matahari siang itu terasa hangat, namun tak begitu menyengat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari siang itu terasa hangat, namun tak begitu menyengat. Sehabis pulang sekolah, Dewandaru tak berniat langsung ke rumah melainkan duduk berteduh dibawah pohon besar. Daun-daunnya rimbun, membentuk naungan alami di atas rerumputan hijau.

Dewandaru bersandar santai pada batangnya. Di pangkuannya terletak sebuah gitar kayu klasik. Baju kemeja putih dengan lengan tergulung, sementara dasi sekolahnya sedikit longgar, tanda bahwa ia ingin merasa bebas sejenak. Dengan pelan, jari-jarinya mulai memetik senar gitar, menghasilkan melodi yang pelan namun penuh perasaan. Setelah sejenak bermain-main dengan nada, ia akhirnya tersenyum tipis. Lalu, dengan suara yang jernih, ia mulai menyanyikan sebuah lagu populer pada masa sekarang.

"Angin malam, bawa daku pergi… Membawa rinduku ini…."

Itu adalah "Biru" milik Vina Panduwinata, sebuah lagu yang sering diputar di radio dan menjadi kesukaan banyak remaja sekarang. Nada-nada melankolis dan lirik penuh kerinduan membawa suasana menjadi lebih hening. Angin berhembus pelan, menggerakkan daun-daun pohon, seakan ikut menari bersama irama gitar yang ia petik. Suaranya mengalun lembut, mengiringi setiap petikan gitar yang dimainkan dengan hati-hati. Lagu itu, dengan segala romantismenya, terasa pas untuk dinyanyikan di bawah pohon rindang ini.

Tak jauh dari tempat Dewandaru bersenandung, seseorang yang seolah terhipnotis dengan suaranya, tersenyum simpul, menikmati setiap syair sederhana itu.

Tepat reff kedua lagu itu, suara tepuk tangan membuat petikan gitar Dewandaru terhenti. Lelaki itu memandang kedatangan Ayudia yang sejak tadi terhipnotis dengan suaranya.

"Kamu hebat Daru! Suaramu merdu seperti nyanyian dari surga." Puji Ayudia dengan mimik wajah gembira. Gadis itu baru saja pulang sekolah. Saat menyusuri perjalanan pulang, ia tak sengaja bertemu Dewandaru– lelaki yang juga bersekolah ditempat dirinya. Lelaki tampan yang masih mengenakan seragam putih, memetik gitarnya dan bersenandung indah membuat Ayudia kagum dan terpesona.

Tak heran dengan ekspresi dingin yang dipasangkan Dewandaru, lelaki itu selalu begitu jika bersitatap dengan seseorang terlebih lagi dengan dirinya. Sudah sejak lama Ayudia tertarik dengan lelaki ini, dan melakukan segala cara agar bisa berteman dengan Dewandaru. Namun sepertinya itu tidak akan mudah, Dewandaru sulit untuk ditaklukkan.

Tapi, bukan berarti tak bisa ditaklukkan?

Ayudia duduk disamping lelaki itu, memandangi langit biru yang cerah. Sinar matahari tak terasa menyilaukan karena pohon yang menghalangi. Tak terasa sudah semenit lebih mereka diam dengan kecanggungan masing-masing. Antara Dewandaru yang malas bicara, dan Ayudia yang menunggu cowok itu berbicara duluan.

"Kamu itu unik, lebih ke aneh sih. Baru kali ini aku nemuin cowok irit bicara sepertimu. Suaramu nggak akan habis kalau bicara sedikit saja." Jengah Ayudia dengan ekspresi jengkel. Dewandaru hanya memasang wajah tak peduli, ekor matanya melirik gadis disampingnya, lalu memutarkan bola mata malas.

Ayudia 1987Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang