Lembaran Enam: Dia, Nathanael

93 22 0
                                    

Aku mendapatkan alamat rumah Nathan dari Winter, meski harus melalui berbagai macam pertanyaan curiga dari temanku itu. Dan sekarang disinilah aku berada, di depan sebuah rumah mewah berpagar tinggi. Dari penampakannya saja, aku dapat menyimpulkan keluarga Nathan bukan dari kalangan atas biasa.

Ini adalah hari ketujuh sejak kepergian bunda Aya. Aku tidak bisa keluar dari rumah sakit seperti kemauanku. Dokter Joanne sangat ketat, dia tidak akan membiarkanku keluar jika hasil pemeriksaan belum sepenuhnya membaik, terlebih dengan keadaanku seminggu lalu tiba-tiba collapse, dokter Joanne tidak akan mengizinkanku pulang dengan cepat.

Aku tidak tahu kabar Nathan, kata Winter, Nathan tidak masuk sekolah sejak seminggu yang lalu, karena itulah aku nekat mendatangi rumahnya. Hatiku benar-benar tidak tenang memikirkan keadaan anak laki-laki itu. Aku takut Nathan menyalahkan dirinya atas kepergian bunda Aya.

"Ada yang bisa kami bantu, mba?" Dua satpam muncul setelah aku menekan bel rumah itu.

"Saya mau ketemu Nathanael. Saya temannya." Jawabku cepat.

Kedua satpam itu saling pandang, seperti ragu. Aku buru-buru berucap,"saya mohon pak, saya harus ketemu Nathan." Aku menatap keduanya penuh harap. Sungguh aku benar-benar tidak akan tenang sebelum bertemu anak itu.

"Tapi mba..."

Kalimat salah satu satpam itu terpotong saat seorang laki-laki muda datang menghampiri kami. Melihat wajahnya sepertinya usianya berkisar dua puluh tahunan keatas.

"Ada apa pak?" Tanyanya.

"Saya mau ketemu Nathanael." Aku menjawab lebih dulu. Aku yakin laki-laki ini mungkin salah satu keluarga bunda Aya.

Laki-laki muda itu tampak memperhatikanku bingung. Mungkin ragu, karena aku jelas bukan teman Nathanael biasanya. Tidak berlangsung lama, rautnya kemudian berubah sendu.

"Nath gak ada di rumah, dia menghilang dua hari yang lalu." Jawabnya seraya menghela napas panjang. "Kami udah nyari kemana-mana tapi tetep gak ketemu. Sejak bunda pergi, Nath ngurung diri di kamar. Dua hari yang lalu dia diam-diam pergi, sampai sekarang gak balik."

Aku terhenyak kaget. Mendadak isi kepalaku di penuhi oleh kekhawatiran luar biasa. Bagaimana keadaan Nathan? Dimana dia sekarang? Bagaimana jika dia melakukan hal-hal berbahaya? Tanpa pikir panjang aku segera berpamitan pada orang-orang di rumah itu. Aku harus mencari Nathan. Aku harus menemukannya.

☘️

Senja mulai terlihat di langit. Kilau jingganya mewarnai awan seperti permen kapas yang sering di beli para bocah di pasar malam. Aku menghentikan langkah, menyeka keringat di pelipis. Hampir seharian aku mencari Nathan di seluruh sudut kota, tapi hasilnya nihil. Nathan tetap tidak ada. Aku terduduk frustasi, semakin lama rasa khawatirku berubah menjadi ketakutan. Aku belum pernah merasakan ketakutan yang sedemikian menyesakkan seperti ini. Bayang-bayang Nathan melakukan hal-hal berbahaya menghantui isi pikiranku.

Aku menarik napas panjang, menatap langit yang sebentar lagi gelap. Di luar dari kekhawatiranku soal Nathan, aku sedikit merasa aneh dengan diriku sendiri. Ini pertama kalinya aku mengkhawatirkan orang lain, aku bahkan tidak bisa tenang sebelum bertemu dengan Nathan. Perasaan aneh yang lagi-lagi tercipta karena seorang Nathanael.

Nathan, lo dimana? Aku membatin. Perasaan aneh ini benar-benar tidak nyaman. Padahal Nathan bukan orang terdekatku. Kami bahkan baru saling mengenal, tapi kenapa aku bisa setakut ini karena Nathan menghilang.

Aku memejamkan mata, berusaha menjernihkan pikiran. Aku tidak akan berhasil menemukan Nathan jika terus menerus berpikiran buruk. Aku harus memposisikan diriku sebagai Nathan. Aku harus memahami jalan pikirannya.

How Can You Love Me || JaemrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang