- 03

1.3K 174 30
                                    

"Apa yang kamu pikirkan tentang ketujuh pendosa itu?" Tanya Supra.

Mereka sangat mirip dengan Supra, entah kenapa. Aku lekas menjawab, "Mereka jelek."

Supra, bagaimana pun, tetap menjadi Supra; ia irit berekspresi.

"Dan juga sangat primitif." Sambungku, sambil meletakkan pisau roti tembaga ke piring keramik. Aku menyudahi sarapanku. Aku menatap vas bunga tanpa bunga di sentral meja bundar ini. Mejanya dibuat dari feldspar kaya akan mineral. Diameternya tidak besar. Meja ini menampung seekor kalkun utuh yang dipanggang dan diberikan piterseli, satu set perabot teh beserta wadah kaca untuk menyimpan gula batu, dan perasan lemon. Ada pun dua macam teko teh panas—satu terbuat dari tembikar, satu lagi berbahan kaca, dilengkapi pula penyaring—cawan emas, serta gelas kecil, mangkuk mungil untuk merendam rosmeri, berbagai ukuran sendok, needle, serta corong. Dan hokah. Alat bertangkai tunggal untuk memanaskan tembakau. Aku tidak merokok. Namun seseorang meletakkan tabung jungkat-jungkit bertatahkan berlian itu disana. Yah, begitulah ulahnya raja sebelumnya. Aroma opium jadi mencemari pagiku. Ayolah. Aku tak menyingkirkannya karena aku menghormati ayah. Makanya meja ini sangat sempit sehingga bila aku menyenggol sedikit barang-barang di atas mejanya sekalipun, aku dapat menjatuhkannya ke lantai. Memecahkannya. "Dan mengerikan. Dan tidak tahu sopan santun. Dan ... ya. Dan, jelek."

Aku menengok pada Supra. Kami bertatapan selama sejurus waktu. Aku lalu menyunting senyum, berniat membercandainya. Aku tidak tahu apakah Supra tersindir atau tidak. Kurasa ... ia tersinggung berat, sampai-sampai ia tidak mengindahkan aku.

Aku mengalihkan pandanganku lagi pada jendela. Mentari pagi menyorot keberadaanku. Setengah wajahku jadi tercahayai. Dan setengahnya lagi tidak. Mahkota silver di kepalaku yang beratnya mirip zirah ini memantulkan nur itu kemana-mana. 

"Aku hendak pergi ke makam." Kataku, sambil berdiri. Sepatu boot kulit ini menimbulkan bunyi keletuk. Aku pergi meninggalkan Supra. Supra membisu. Ia tenggelam diantara bayang-bayang.

Aku sebetulnya tidak memerlukan izinnya. Aku hanya menghormatinya.

Mantel beleduku menyapu lantai. Aku menyeretnya di sepanjang koridor. Lampu stromking yang digenangi oleh minyak dari kacang-kacangan menerangi sepenjuru kastel. Hanya cahaya redup dan kuning, sebetulnya. Sudut-sudut gelap masih melingkupi rona bangunannya.

Bunyi-bunyi zirah besi saling bersinggungan terdengar dari belakang. Gopal menghampiriku.

"Ratu. Ini jadwal untuk hadir di Capital House. Ke kegiatan amal dengan Marquess Glacier sebagai host-nya. Putri Yaya telah berangkat dikawal oleh Ejojo, sesuai titah anda. Anda juga hendak menyusul?" Gopal, sebagai ajudan cerewetku, bertanya. Meh. Kegiatan amal; kegiatan cari muka pada masyarakat—atau tepatnya, ke golongan aristokrat saja. Aku malas sekali mengikuti acara-acara sedekah semacam itu. Sejujurnya, orang istana alaminya pemalas semua. Aku yakin Yaya juga begitu. Kastel kami berada di pucuk gunung, dan pemukiman terletak di bagian lembahnya. Memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai perkotaan. Kalau menunggang kuda di medan menurun, pinggang akan terasa sakit, apalagi kakiku masih didera rasa malposisi tulang. Bila mempergunakan kereta kuda, waktu tempuhnya akan jauh lebih lama. Yah. Aku malas.

Kuputuskan untuk mendiamkan Gopal. Sial. Mulutnya banyak bicara. Berisik.

Setelah mencapai kapel dengan lampu gantung yang lilin-lilinnya belum dinyalakan, aku pergi ke anak tangga menuju halaman belakang.

Segerombol gagak-gagak yang hinggap di patung marsekal lapangan yang mengapit tangga bawah berkoak sebagai respon atas kedatanganku. Mereka beterbangan tak tentu arah. Satu gagak berparuh cacat bertahan bertengger di ujung zirah sang patung, ia seolah mengidentifikasi tujuanku pergi kesini.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang