- 08

887 147 31
                                    

Kabar buruk. Kedatangan Kirana dimajukan. Aku jadi menyambutnya hari ini, ketika cuaca sedang cerah dan salju mulai mencair pada siang menuju petang hari.

Aku mendudukkan pantatku di kursi pada aula House of Lords, dan menyaksikan minuman yang tidak kucampur dengan racun pelan-pelan masuk lewat bibir ranumnya Kirana. Wanita ini, dari dekat, kelihatan lebih jinak dari penggambarannya di surat kabar. Ia berpemahaman feminis sayap kiri; aku bermaksud mendeskripsikan segolongan pejuang hak asasi penolak kultur patriarki dengan sifat pemarah dan ofensif terhadap para peerage. Dia bahkan merumuskan pembebasan tanah-tanah pertanian dari pengawasan para Lords.

Pencipta perubahan. Yang naif.

"Apa boleh buat. Aku menyetujui persekutuan kita." Aku mengangkat bahu. Aku tak berminat menjadikan Kirana tersinggung. Bahasa tubuh itu murni aku peragakaan karena aku merasa aku perlu bersandiwara jual mahal. "Tapi,"

"Tapi?" Kirana meletakkan gobletnya di cetakan gaharu. Orang ini menolak menyentuh makanan yang aku hidangkan. Kirana hanya minum, itu pun sedikit, karena takut diracun, barang kali.

Seorang kepala pelayan menyuguhkan teh rosemary pesananku beserta perangkat minum tehnya. Ia menyeduhkan air hangat dari pot perebus ke penyaring di atas gelas porselennya. Aku mengangkat gelasnya, sambil memerhatikan teh itu. Aku memposisikan jempol tanganku di atas kepulan asap tehnya. Jempolku tak memiliki bayangan di permukaan tehnya.

Aku mengembalikan cangkir berkuping cantiknya ke pisin dan menepuk tangan sekali.

Gopal segera mendekat ke kursiku,

"Bawa si kepala pelayan pergi." Aku berbisik. "Biasalah."

Gopal langsung mengangguk. Ia membawa kroni-kroninya dan menangkap si kepala pelayan.

"Mengapa?" Tanya Kirana.

Tak ada bayangan di sana. Di air tehnya. Bubuk teh hanya akan menyisakan endapan di bawah. Sesuatu—residu dari racun—berkumpul di permukaan tehnya, dan menghalangi terjadinya pembentukan bayangan atas jempol tanganku. Tehnya mutlak dibubuhkan racun. Entah dari foxglove atau insektida. Atau racun tikus. Entahlah. Siapa peduli.

Aku khawatir orang-orang di sini berniat membunuh Kirana karena sebagian dari masyarakat masih berpihak pada Gogobugi. Aku amat khawatir. Tapi, tololnya, malah aku yang mau diracun oleh orang-orangku sendiri.

"Biasalah." Kataku. "Mari lanjutkan. Tapi, bukankah lebih baik, jika kita—kita, Ratu Kirana. Aku dan kamu. Kita—memanfaatkan keadaan ini sebaik-baiknya?"

Kirana belum mengerti kemana akal bulusku tertuju, jadi ia meresapi narasiku sambil membisu.

"Pulau Rintis terhitung sebagai wilayah paling luas di kontinen. Disusul dengan Gogobugi dan Gur'latan. Wilayah yang luas memerlukan perhatian lebih. Kita mesti mewaspadai separatisme dan pemberontakan oleh peerage. Bagaimana jika ... kita berdamai saja." Aku memutar mata malas. "Tidak. Bukan kita. Tapi kamu. Gur'latan dan Gogobugi tidak usah ribut-ribut. Kamu dan Kaizo, bisakah kalian melanjutkan pertunangan—"

"Tidak bisa." Kirana menunduk. "Aku kecewa."

Aku berhenti bersandar. "Katakan kenapa."

Aku tidak tahu apa hal baik apa yang lebih menyenangkan daripada ini; menggandeng Kirana sebagai sohibku, dan berlindung di balik punggungnya atas invasi-invasi Gogobugi. Kalau Kirana mau menikah, dengan Kaizo, aku ikut untung. Karena teknisnya, aku kawan baiknya Kirana. Kaizo tidak akan menjahati aku—kawan baiknya Kirana.

"Dia ... memiliki gadis lain. Aku dengar, gadis itu ... berasal dari desa." Kirana menyambung. Suaranya resah, seperti layaknya orang sakit hati.

Ice sedang apa di sana? Aku menggeleng, menyingkirkan pikiran idiot itu. Aku lalu memfokuskan diri pada diskusi ini.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang